KOLEKSI PUSTAKA

KOLEKSI PUSTAKA

MENANTI DIBACA

MENANTI DIBACA

MEMBACA

MEMBACA

BUKU PUN TERSENYUM

BUKU PUN TERSENYUM
Selamat Datang dan Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

Isi Waktu Luang dengan Berbuat!

Orang-orang yang banyak menganggur dalam hidup ini, biasanya akan menjadi penebar isu dan desas-desus yang tak bermanfaat. Itu karena akal pikiran mereka selalu melayang-layang tak tahu arah. Dan,

{Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang.} (Q.S. At-Taubah: 87)

Saat paling berbahaya bagi akal adalah manakala pemiliknya menganggur dan tak berbuat apa-apa. Orang seperti itu, ibarat mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa sopir, akan mudah oleng ke kanan dan ke kiri.

Bila pada suatu hari Anda mendapatkan diri Anda menganggur tanpa kegiatan, bersiaplah untuk bersedih, gundah, dan cemas! Sebab, dalam keadaan kosong itulah pikiran Anda akan menerawang kemana-mana; mulai dari mengingat kegelapan masa lalu, menyesali kesialan masa kini, hingga mencemaskan kelamnya masa depan yang belum tentu Anda alami. Dan itu, membuat akal pikiran Anda tak terkendali dan mudah lepas kontrol. Maka dari itu, saya nasehatkan kepada Anda dan diriku sendiri bahwa mengerjakan amalan-amalan yang bermanfaat adalah lebih baik daripada terlarut dalam kekosongan yang membinasakan. Singkatnya, membiarkan diri dalam kekosongan itu sama halnya dengan bunuh diri dan merusak tubuh dengan narkoba.

Waktu kosong itu tak ubahnya dengan siksaan halus ala penjara Cina; meletakkan si narapidana di bawah pipa air yang hanya dapat meneteskan air satu tetes setiap menit selama bertahun-tahun. Dan dalam masa penantian yang panjang itulah, biasanya seorang napi akan menjadi stres dan gila.

Berhenti dari kesibukan itu kelengahan, dan waktu kosong adalah pencuri yang culas. Adapun akal Anda, tak lain merupakan mangsa empuk yang siap dicabik-cabik oleh ganasnya terkaman kedua hal tadi; kelengahan dan si "pencuri".

Karena itu bangkitlah sekarang juga. Kerjakan shalat, baca buku, bertasbih, mengkaji, menulis, merapikan meja kerja, merapikan kamar, atau berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain untuk mengusir kekosongan itu !Ini, karena aku ingin mengingatkan Anda agar tidak berhenti sejenak pun dari melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Bunuhlah setiap waktu kosong dengan 'pisau' kesibukan! Dengan cara itu, dokter-dokter dunia akan berani menjamin bahwa Anda telah mencapai 50% dari kebahagiaan. Lihatlah para petani, nelayan, dan para kuli bangunan! Mereka dengan ceria mendendangkan lagu-lagu seperti burung-burung di alam bebas. Mereka tidak seperti Anda yang tidur di atas ranjang empuk, tetapi selalu gelisah dan menyeka air mata kesedihan.

Amal Duniawi

Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. menjenguk Fatimah yang sedang menggiling tepung. Rasulullah s.a.w. heran, karena Fatimah tampak menangis. Mengapa? Putri Rasulullah s.a.w. ini mengaku air matanya meleleh karena kesibukannya yang terus silih berganti tiada henti. Kepada ayahnya, Fatimah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki budak yang bisa membantu semua pekerjaannya di rumah.

Rasulullah pun mendekatinya. Beliau lalu menghibur putrinya, "...Allah berkehendak mencatat kebaikan, menghapus keburukan, dan mengangkat derajatmu jika engkau menunaikan tugas-tugas keseharianmu sebagai seorang istri dengan baik."

Rasulullah kemudian bersabda bahwa seorang wanita yang dapat berperan sebagai istri yang baik bagi suaminya, dan sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, maka ia akan diberi derajat yang sangat mulia oleh Allah s.w.t.

Dalam kesempatan lain beliau juga menjelaskan, jika seorang ibu meminyaki sendiri rambut anak-anaknya, menyisirinya, mencuci baju-baju mereka sendiri, maka pahala yang ia peroleh laksana amal memberi makan seribu orang yang lapar dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang (tak mempunyai pakaian).

Kisah dan hadits di atas memberi pemahaman yang dalam kepada kita bahwa hendaknya kita tidak membuat dikotomi atas amal kita antara yang "duniawi" dan "ukhrawi", sehingga kita mengunggulkan yang satu dan meremehkan yang lain.

Sebab, tidak jarang, apa yang kita anggap remeh ternyata sebenarnya mengandung kemuliaan yang sangat tinggi. Kita mungkin sering berpikiran bahwa amal-amal yang mulia yang "ukhrawi", yang kental nuansa ritual sakralnya seperti jihad, haji, shalat nafilah. dzikir, dan tadarus.

Kesibukan sehari-hari, misalnya, kerja di kantor, di pabrik, di toko, di jalan-jalan, demi menafkahi keluarga di rumah, atau kesibukan di dalam rumah semisal mengurus rumah dan mengasuh anak, yakni amal-amal profan, "duniawi", kita anggap remeh temeh, biasa-biasa saja, bukan amal yang utama dan mulia.

Padahal, merujuk pada kisah dan sabda Rasul di atas, jelas sekali bahwa pemahaman seperti itu keliru. Dalam sudut pandang dan skala tertentu, amal-amal profan, "amal-amal duniawi" justru sangat tinggi nilainya di hadapan Allah s.w.t., selama dilakukan dengan cara dan niat yang baik, sesuai tuntunan yang disunnahkan Rasul.

Suatu kali, ketika Rasul sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, ada seorang pemuda yang kekar dan perkasa lewat. Para sahabat berkata, "Ah, andaikan kekekaran dan keperkasaannya digunakan untuk berjihad di medan perang sabilillah, betapa bagusnya."

Tetapi apa komentar Rasulullah s.a.w.?

Beliau sama sekali tidak sepakat dengan cara pandang seperti itu. "Andaikan ia masih punya orangtua di rumah, ia lebih baik menggunakan kekuatannya untuk mengurus orangtuanya daripada berjihad. Atau, jika dengan keperkasaanya itu ia bekerja mencari nafkah buat dirinya sendiri agar tidak bergantung pada orang lain, itu jauh lebih baik daripada jihad."

Ikhlas dalam Zakat dan Shadaqah

Ikhlas dalam zakat dan shadaqah adalah memurnikan niat dan tujuan dalam mengeluarkan rezeki yang diberikan Allah pada seorang hamba, semata-mata untuk menaati perintah dan mencari keridhaan Allah SWT. Jadi hamba yang ikhlas dalam berzakat dan shadaqah, sedikitpun tidak ada niat dan tujuan lain selain keridhaan Allah.

Zakat sendiri menurut bahasa berarti kesuburan, keberkahan, dan pensucian. Zakat adalah perintah Allah pada kaum muslimin dengan mengeluarkan harta dari pemiliknya pada orang yang berhak, untuk membersihkan seluruh hartanya, sesuai firmannya :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.“ (QS. AL-Baqarah : 43)

“Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan do’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui.“ (QS. AT-Taubah : 103)

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena disatu pihak ia merupakan bentuk pelaksanaan amal manusia sebagai makhluk sosial, dan di lain pihak mendorong dinamika manusia untuk berusaha mendapatkan karunia Allah di muka Bumi. Zakat dan shadaqah adalah satu prinsip hidup seorang muslimin yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, agar menjadi hamba Allah yang dermawan, sesuai sabda beliau :

“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.“ (Hadist)

Artinya hidup memberi itu lebih baik dari pada meminta. Berderma dari sebagian harta yang Allah karuniakan kepada hamba adalah perilaku mulia yang sangat di sukai Allah SWT. Allah akan memberi pertolongan, rahmat dan kemenangan bagi hamba-hambanya yang mengeluarkan zakat dan shadaqahnya dengan penuh keikhlasan, dan hal tersebut tercermin dari niat yang bersih dari-Nya dan bersih dari rasa terpaksa.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya, dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena-Nya kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah, dan hari kemudian, maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.“ (QS. AL-Baqarah : 264)

Sungguh sia-sia orang yang bersedekah dan berzakat dengan tujuan riya’. Mengeluarkan harta untuk menyombongkan diri, mencari pujian manusia, mencari popularitas, ingin disebut dermawan. Sungguh merugi manusia yang tidak ikhlas dalam berzakat dan bershadaqah. Karena amalnya bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka menjadi bersihlah batu tersebut dari tanah. Tanah di atas batu itu perumpamaan amal, dan batu yang kembali licin akibat hujan itu ibarat amal hamba yang beramal disertai riya’, sungguh sia-sia dan tak ada gunanya. Dan Allah, tidak menyukai orang-orang yang riya serta menyombongkan diri, sesuai firmannya :

“…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (36) (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan (37) dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena-Nya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan kepada hari kemudian. Barang siapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya (38).“ (QS.AN-Nisaa’: 36-38)

Zakat adalah sarana untuk membersihkan harta dan mensucikan diri. Tetapi bila itu dilakukan dengan tujuan-tujuan selain Allah, apalagi digunakan sebagai sarana untuk menyombongkan diri dihadapan Allah. Maka sia-sialah amalnya, lebih dari itu, Allah akan menghukum mereka yang sombong dan membanggakan diri, dengan siksaan yang menghinakan.

Shadaqah adalah amal yang sangat dimuliakan, apabila dilakukan dengan penuh keikhlasan. Dapat menimbulkan kasih sayang dan rasa setia kawan terhadap kaum muslim, memperkecil jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dan kaum muslim, diperintahkan oleh Rosullullah untuk bershadaqah dalam keadaan apapun sesuai sabdanya:

“Atas tiap-tiap mukmin, shadaqah.”Para sahabat bertanya.”Bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mempunyai harta?” Nabi menjawab.” Dia bekerja, lalu memberi manfaat kepada dirinya dan bersadaqah.” Para sahabat bertanya pula, ”jika ia tidak dapat bekerja sebagai yang di maksudkan?” Nabi menjawab, “ia memberi pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan.” Para sahabat bertanya lagi, “ Jika ia tidak dapat demikian?.” Nabi menjawab,”Hendaklah ia mengerjakan yang makruf, menahan dari kejahatan, karena yang demikian itu sadaqah baginya.” ( H.R Bukhari )

Shadaqah tak harus berbentuk harta saja, bagi kaum muslimin yang diuji Allah dalam kesempitan, shadaqah tetap bisa dilakukan dengan mengerjakan yang makruf, dan menahan diri dari berbuat kejahatan. Dan sangatlah penting memurnikan amal dengan memfokuskan niat dan tujuannya hanya untuk Allah saja, tanpa pamrih, niatan-niatan yang terselubung.

Ibnu ATHA ILLAH, menjelaskan dalam Al-Hikam:

“Jangan menuntut imbalan atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu sendiri. Cukuplah balasan Allah bagimu jika dia menerima amal itu.” ”Bila engkau menuntut imbalan atas suatu amal, pasti engkau pun akan dituntut untuk tulus dalam melakukannya. Dan bagi yang merasa belum sempurna, cukuplah bila ia telah selamat dari tuntutan.”

Keikhlasan beramal sejati, terkait dengan tauhid. Yakni keyakinan bahwa semua aspek kehidupan dan wujud berasal dari-Nya (Allah). Maka, balasan tertinggi amal perbuatan kita adalah, kesadaran kita terhadap sang sumber, dan kehadiran Allah dalam setiap amal perbuatan seorang hamba. Artinya ketika hamba Allah menzakatkan atau menshadaqahkan sebagai rezekinya untuk mereka yang berhak, hakikatnya ia hanyalah perantara pemberi pada saudara-saudaranya yang membutuhkan (fakir miskin). Rezeki yang ia keluarkan, hanyalah amanah dan titipan Allah padanya, agar ia terhindar dari penyakit tamak (rakus) dan kikir atas segala karunia yang Allah berikan kepadanya. Dan mereka-mereka yang bershadaqah dengan ikhlas, jangan takut kalau hartanya akan habis. Sebab Allah berjanji dalam firmannya, apabila hamba Allah menanamkan satu kebaikan, maka Allah akan membalas kebaikan hambanya itu sepuluh kali lipatnya.

Kasih Sayang dan Tanggungjawab Orangtua Terhadap Anak

Memilih Pemimpin yang Islami

Budaya Kerja

Ikhlas dalam Amal Muamalah

“Dan kami telah turunkan kepadamu AL-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali, kamu semuanya. Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.“  (QS. AL-Maaidah : 48)

Muamalah adalah ibadah sosial yang mencakup aspek aktivitas manusia dalam kehidupan. Ikhlas seorang hamba dalam bermuamalah adalah memurnikan niat dan tujuan aktivitas manusia dengan manusia lain, dalam sebuah masyarakat dan Bangsa, semata-mata untuk mencari keridhoan Allah SWT. Dan juga menyerahkan segala urusan kehidupan sesuai aturan-aturan yang telah dikehendakinya, sehingga menghasilkan prilaku masyarakat yang berdasarkan sistem nilai budaya tertentu yang bersumber pada kaidah hukum Allah, sampai terbentuknya masyarakat beragama yang berserah diri atas segala ketentuan Allah SWT.

Risalah Islam adalah risalah yang sesuai fitrah manusia. Ajaran agama yang sesuai dengan alam dan nurani manusia, manusia sendiri terdiri dari jasmani, ruhani, dan akal. Artinya muamalah dalam aktivitas hamba Allah akan memenuhi kebutuhan potensi dasar manusia. Mulai aspek ideologi, ekonomi, pendidikan,  sosial, politik hingga seni budaya. Masyarakat Islam akan menumbuh kembangkan kebudayaan, melalui perubahan positif yang membawa kemajuan. Hal tersebut dapat membawa masyarakat. Pada kehidupan yang berkualitas, mencapai kesejahteraan, keadilan, kedamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Masyarakat muslim akan selalu memperjuangkan nilai-nilai yang diperintahkan Allah SWT memperkuat persaudaraan dan persatuan, saling tolong menolong, berlaku adil, dan dapat hidup berdampingan umat lain yang tidak mengadakan peperangan. Masyarakat muslim akan selalu berpegang teguh dan istiqomah pada nilai-nilai yang telah diperintahkan Allah dan Rosulnya, dalam kitab sucinya yang menjadi pedoman beragama seluruh umat islam.

Seperti Sabda Rosullullah SAW :
“Aku tinggalkan padamu dua perkara, yang merupakan pedoman agar kamu tidak tersesat selama kamu berpegang teguh padanya. Hal itu ialah kitabullah (AL-Qur’an) dan sunnahku (AL-Hadist).“ (HR. Bukhari Muslim)

AL-Qur’an dan Hadist adalah pedoman beramal Hamba Allah yang ikhlas dalam bermuamalah. Muamalah sendiri terbagi menjadi beberapa aktivitas, diantaranya aktivitas ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan kesenian. Keikhlasan bermuamalah akan tercermin dalam aktivitas kehidupan hamba-hambanya dalam wujud perilaku menjaga persaudaraan, saling tolong menolong, saling memaafkan, saling menyebarkan kasih sayang, berkata-kata yang baik dan lemah lembut, dermawan, adil, dan menjunjung nilai-nilai perdamaian. Ikhlas memiliki peranan penting dalam bermuamalah, karena tanpa keikhlasan, muamalah apapun yang dilakukan seorang hamba tak akan memiliki nilai ibadah di sisi Allah.

Sesuai Sabda Nabi :
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbutan, kecuali amal perbuatan yang diniatkan dengan ikhlas demi meraih Ridha-Nya.“ (HR. Nasai)

1.1. Muamalah Ekonomi

Aktivitas seorang hamba Allah dalam muamalah ekonomi adalah usaha seorang hamba mencari karunia Allah di muka bumi. Banyak cara yang dilakukan manusia untuk untuk memperoleh rezeki, mulai aktivitas pertanian, perikanan, peternakan, perniagaan, jasa, pertambangan dan profesi pengkayaan lainnya. Mulai proses produksi, distribusi, pemasaran, hingga konsumsi sumber-sumber ekonomi tersebut. Tetapi tujuan muamalah ekonomi hamba Allah yang ikhlas, bukan sekedar mencari keuntungan ekonomi sebesar-sebesarnya dengan modal sekecil-kecilnya, dengan segala cara walaupun harus menipu, berbohong, dan bermain curang. Tujuan muamalah ekonomi hamba Allah yang ikhlas adalah mengusahakan rezeki, untuk mensyukuri nikmat karunia Allah, sebagai sarana beribadah, untuk mencapai kesejahteraan hidup di Dunia dan di Akhirat.

“Siapa yang berpegang teguh kepada Allah SWT, niscaya ia di cukupkan oleh Allah setiap kebutuhannya. Dan diberikannya rezeki dimana tidak disangkakannya. Dan siapa yang berpegang teguh kepada dunia, niscaya ia diserahkan oleh Allah kepada Dunia.“ (HR. Ath-Thabrani)

Walaupun manusia membutuhkan rezeki, tapi bukan berarti hamba Allah harus terbudaki, terexploitasi, hingga meng-Tuhan-kan Duniawi. Rezeki hanyalah sarana hamba Allah untuk beribadah, dan mensyukuri segala nikmat Allah yang ia karuniakan di muka Bumi ini. Apapun yang manusia usahakan untuk memperoleh rezeki, tak mungkin berhasil dengan baik, kecuali Allah mengizinkannya. Karena itu, sudah sepantasnyalah hamba Allah, mengembalikan segala sesuatu yang ia usahakan hanya kepada Allah saja. Karena hamba yang yang istiqomah, dan berserah diri secara utuh kepada Allah. Niscaya dia akan mencukupkan segala kebutuhannya, juga mendatangkan rezekinya dari tempat-tempat yang tidak disangka-sangkanya.

Rosullullah mencontohkan seekor burung, bagi hamba-hamba Allah yang ikhlas dalam bermuamalah mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Seluruh makhluk di muka bumi ini telah Allah tetapkan rezekiya, dan dia tak mungkin salah membagi-bagikan karunia-Nya. Manusia hanya perlu berikhtiar dengan ikhlas, selebihnya biar Allah yang menentukan.

“Jikalau kamu berserah diri kepada Allah ta’ala dengan berserah diri yang sebenar-benarnya, niscaya dia akan memberikan rezeki kepada kamu, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang keluar pagi-pagi dengan perut kempis, dan kembali sore dengan perut kenyang.“ (HR. AT-Tirmidzi)

Allah SWT menilai rezeki dari dua sisi. Pertama, cara mendapatkan rezeki. Kedua, kemana akan di belanjakan rezeki tersebut. Dua sisi tersebut harus dijalankan dengan baik sesuai kehendak Allah, apabila salah satu sisinya diperoleh dengan cara yang salah, maka muamalahnya akan sia-sia, dan tidak bernilai ibadah di mata Allah. Muamalah ekonomi hamba yang ikhlas, adalah ikhtiar yang diperoleh dengan cara yang baik, dan digunakan pada hal-hal yang telah dihalalkan oleh Allah. Tapi juga jangan lupa mengeluarkan zakat dan shodaqah, karena dalam rezeki yang Allah karuniakan pada hamba-hambanya, ada hak kaum fakir miskin.

Karena itu, mengeluarkan zakat dan shodaqah adalah untuk mensucikan harta, agar amal muamalah kita bernilai ibadah disisi Allah. Muamalah ekonomi dalam Islam, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kedermawanan, dan keikhlasan. Muamalah ekonomi yang diridhoi Allah, dengan tegas menolak keserakahan, kerakusan, ketidakpastian, ketidakadilan, penipuan, pemerasan, penimbunan, monopoli, dan riba.

Seperti firmannya : 
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.“ (QS. AL-Baqarah : 278)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.“ (QS. AL-Baqarah : 276)

Riba adalah pembayaran lebih yang di syaratkan oleh orang yang meminjamkan. Allah telah mengharamkan riba (dan menghalalkan jual beli). Hamba Allah yang ikhlas dalam bermuamalah ekonomi, ia akan memusnahkan ekonomi riba, dan lebih meyuburkan sedekah dan zakat. Karena itu, muamalah ekonomi yang diridhai Allah adalah ikhtiar yang akan membawa keberkahan, keadilan, dan keselamatan hamba Allah di dunia dan di akhirat. Selain cara mendapatkannya, hamba Allah yang ikhlas juga perintahkan tidak membelanjakan hartanya berlebih-lebihan, mubazir, boros, dan bermewah-mewahan. Sebaliknya, tidak juga pelit, kikir, menumpuk hartanya, hingga enggan mengeluarkan zakat dan shodaqah.

1.2. Muamalah Pendidikan

“(1) Bacalah dengan (Menyebut) nama Tuhan Yang Menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (3) Bacalah, dan Tuhan Yang Maha Pemurah (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan Islam (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS.Al ’Alaq : 1 - 5)

Bermuamalah dalam bidang pendidikan yang dilakukan hamba Allah yang ikhlas adalah memurniakan niat dan tujuan dalam proses belajar menuntut ilmu, hanya untuk mencari keridhoan Allah SWT, sesuai firman Allah dalam surat Al-Alaq, “Hamba Allah yang menuntut ilmu, harus memastikan bahwa ilmu yang dituntut benar-benar memperkuat keimanannya pada Allah, penghambaannya pada Allah, rasa syukurnya pada Allah, dan ketaqwaannya pada “Sang Maha Pencipta Alam Semesta”. Bukan sebaliknya, malah membuat seorang hamba semakin sombong, menafikan keberadaan Tuhan, mengangungkan materialisme, anti agama, anti risalah, menghamba dunia, hingga menolak keberadaan Allah SWT.

Secara bahasa ilmu adalah pengetahuan manusia mengenai segala sesuatu yang dapat dipelajari oleh indera manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman dan pengecap. Melalui akal dan proses berfikir, memahami, menganalisis, hingga menyimpulkan sampai menjadi pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis yang disebut ilmu pengetahuan.

Sedangkan bagi umat muslim ilmu itu tidak sebatas ilmu pengetahuan saja, sebab mereka memiliki sumber dari segala sumber pengetahuan, yaitu AL-Qur’an dan AS-Sunnah. Hamba yang ikhlas meyakini ilmu Allah itu meliputi segala ilmu tentang alam semesta dan manusia sendiri. Mulai galaksi-galaksi, planet-planet, keseimbangan-keseimbangan di dalamnya, daya tarik-menarik dalam struktur alam, spesies-spesies yang jumlahnya tak terhitung, cara spesies itu hidup, bakat-bakat yang mengagumkan di dalamnya, sebuah tatanan sempurna yang tak mungkin terwujud dengan sendirinya, tetapi pasti memiliki seorang pencipta. Siapa lagi yang Maha Pencipta alam semesta ini selain “Allah SWT“. Jadi muamalah pendidikan hamba Allah yang ikhlas, akan semakin memperkuat keimanan dan penghambaannya kepada penciptanya (Allah).

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak di sembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus(makhluk-Nya). Tidak mengantuk, dan tidak tidur, kepunyaannya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakinya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.“ (QS. AL-Baqarah : 255)

1.3. Muamalah Sosial Politik

“(8) Hai orang-orang yang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (9) Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“ (QS. AL-Maaidah : 8-9)

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.“ (QS. Ali-Imran : 104)

Muamalah sosial politik hamba Allah yang ikhlas adalah memurnikan niat dan tujuan dalam melakukan aktivitas bermasyarakat, berpolitik, berdemokrasi, mengelola kekuasaan, hingga memimpin rakyat, semata-mata hanya untuk mencari keridhoan Allah SWT. Hamba Allah yang ikhlas akan selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran Ilahi, bersikap adil, beramal saleh, menyerukan pada kebaikan, perdamaian, mencegah perbuatan jahat, keji dan merusak.

Karena Islam adalah agama yang diridhoi Allah, dan nilai-nilainya akan membawa umat manusia pada kemaslahatan mereka di Dunia dan di Akhirat. Karena itu nilai-nilai yang di perintahkan Allah yang Ikhlas dalam muamalah sosial politiknya. Jika ia seorang pemimpin rakyat, maka ia harus memimpin dengan jujur, adil, peduli, memperhatikan rakyat miskin, memperkuat persatuan umat, menjalankan amanah rakyat dengan baik, dan tidak menghianati kepercayaan yang telah diberikan.

Kekuasaan politik bagi hamba Allah yang ikhlas adalah amanah Tuhan dan masyarakat yang dipimpinnya, memperoleh kursi jabatan kekuasaan tidak dipergunakan untuk menyombongkan diri, sewenang-wenang, tidak adil, berkhianat, melanggar hukum, menyalahgunakan sarana yang ada karena jabatannya, merugikan kekayaan Negara untuk memperkaya diri sendiri, dan korupsi.

Pemimpin yang ikhlas adalah pemimpin yang bersih dari korupsi. Visioner dan konsisten menghayati dan melaksanakan perintah Allah, penuh kasih sayang dan membela kaum yang termarginalkan, juga mampu menjadi oase penyejuk ditengah padang tandus kegersangan Bangsa. Membangun sebuah Negara menjadi Bangsa yang makmur, sejahtera, adil dan damai. Hingga Bangsa yang diridhoi Allah akan di isi oleh pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab, bijaksana, jujur, bermoral baik, dan amanah.

Dunia muamalah sosial politik zaman sekarang, tidak terlepas dari sistem politik demokrasi, hampir sebagian besar negara-negara di Dunia menggunakan konsep ini. Demokrasi di adopsi dari Negara adidaya non-muslim, dan mulai di jadikan sistem tandingan untuk memastikan sistem politik masyarakat muslim. Sejauh mana AL-Qur’an bicara tentang sistem politik, karena Allah SWT tidak pernah bicara model sistem politik dalam firmannya, tapi yang ia bicarakan dalam firmannya adalah tujuan sistem politik tersebut. Sesuai yang di jelaskan dalam QS. AL-Maidah ayat 8-9, dan QS. Ali-Imran ayat 104, tujuan sistem sosial politik yang diridhoi Allah adalah sistem politik yang arah tujuannya menegakkan hukum-hukum Allah, menegakkan keadilan, menyerukan kebajikan, mengajukan yang ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Sedangkan persoalan kemasyarakatan, dia perintahkan hambanya untuk mengembalikan pada aturan-aturan Allah dan Rosulnya, juga bermusyawarah.

Sesuai firmannya :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali-Imran : 159)

Allah memerintahkan hamba-hambanya yang ikhlas untuk berlaku lemah lembut, tidak bersikap kasar, dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan muamalah sistem politik. Dan apabila telah mencapai kesepakatan bersama dan membulatkan tekad keputusan yang terbaik, Allah memerintahkan untuk bertawakal kepada-Nya. Karena Allah menyukai orang-orang yang berserah diri dengan tulus ikhlas kepada-Nya. Musyawarah adalah sarana yang paling efektif untuk menyelesaikan segala masalah sosial politik, mulai rekrutmen politik, pemilihan pemimpin, pengelolaan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat, hingga hal-hal yang menyangkut ritual keagamaan.

Ikhlas dalam muamalah sosial politik adalah proses penyerahan diri seorang hamba secara utuh hanya untuk mencari keridhoan Allah dalam setiap aktivitas muamalahnya. Bukan untuk kepentingan pribadi, memuaskan ambisi hawa nafsu, menyombongkan diri dimata Allah, berbuat kerusakan di muka bumi, mendzolimi rakyat kecil dengan kebijakan yang sewenang-wenang, berkhianat pada amanah dengan mengkorupsi uang rakyat hingga penindasan dan kekerasan pemerintah pada rakyatnya. Karena itu hamba Allah yang ikhlas tidak menghamba dan terbudaki oleh kekuasaan, sebab baginya kekuasaan adalah alat, amanah, dan ujian yang harus ia pertanggung jawabkan dihadapan Allah.

Sesuai firmannya :
“Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di Bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. AL-An’aam : 165)

1.4. Muamalah Berkesenian

Allah SWT mempunyai 99 nama, yang biasa disebut Asma ul husna. Dari nama-nama yang agung tersebut, ada nama-nama yang berhubungan dengan pengkaryaan yaitu  AL-Kooliqu (Yang Maha Menciptakan), AL-Barriu (Yang Maha Mengadakan), dan AL-Musowwiru (Yang Maha Membentuk Rupa). Sebelum karya cipta manusia dan aktivitasnya, tak ada bandingnya dengan karya cipta Allah. Dialah Allah Yang Maha Pencipta langit dan bumi dengan segala keindahan dan kesempurnaannya membentuk pegunungan, pepohonan, pantai, lautan, hingga langit yang membentang luas. Dia juga yang mengadakan matahari, bulan, bintang, planet-planet, galaksi-galaksi yang begitu menakjubkan. Dan dia juga yang membentuk sosok manusia yang begitu cantik, tampan, dengan kemampuan dan bakat-bakatnya yang luar biasa.

Sesuai firmannya dalam AL-Qur’an :
“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan bumi. Dan dialah Yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana. “(QS. AL-HASYR : 24)

Muamalah dalam berkesenian adalah memurnikan niat dan tujuan dalam beraktivitas berkarya mulai musik, syair, lukisan, sketsa, tarian, film, dan macam-macam hanya untuk mencari keridhoan Allah SWT. Berkesenian adalah proses kreatif manusia untuk menciptakan karya-karya yang mempunyai nilai estetika (keindahan) tinggi, yang mampu menghibur dan menginspirasi umat manusia.

Allah tidak melarang manusia berkesenian, selama karya-karya yang dibuat difokuskan pada karya-karya positif, yang bermakna bagi kehidupan umat manusia. Bukan karya-karya yang liar, membabi buta, rendahan, amoral, porno, merusak, hingga menghina keberadaan Allah dan Rosulnya. Karya-karya yang dibuat hamba Allah yang ikhlas akan selalu membuat penikmatnya tercerahkan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, memperkuat keimanannya, memotivasi berbuat kebaikan dan amal soleh, menambah kecintaannya pada Allah dan Rosulnya, membangun energi positif dan perdamaian untuk kemaslahatan umat manusia. Semua karya seni manusia itu hakikatnya adalah karunia Allah, agar umat manusia semakin bersyukur kepada-Nya, seperti karya seni yang diciptakan para jin untuk Nabi Sulaiman, cerita Allah dalam AL-Qur’an :

“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya, dari gedung-gedung yang tinggi, dan patung-patung, dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih.“ (QS. Saba ’ : 13)

Muamalah berkesenian bisa menjadi media yang efektif, untuk menyebarkan risalah Allah, dan Rosulnya. Menyadarkan dan mencerahkan umat manusia untuk kembali ke jalan Allah, menyadarkan nilai-nilai kebaikan, cinta kasih, dan perdamaian. Semuanya dilakukan semata-mata untuk mencari ridho, cinta, dan ma’rifatnya Allah SWT.

Ajaran Bederma

Suatu saat Dzun Nun Al-Mishri merenung di hutan, diikuti seorang murid setianya. Mereka mendapati seekor burung yang tiada bisa terbang karena sayapnya patah. Burung itu hanya bisa menggelepar-gelepar di tanah. Selang beberapa saat kemudian, datang burung yang lain membawakan makanan baginya. Burung yang patah sayapnya pun, tanpa perlu repot-repot mencari makanan, dapat makan kenyang berkat jasa kawannya.

Menyaksikan kejadian langka itu, si murid termenung dan berpikir keras untuk menggali pelajaran yang dapat dipetik. "Ternyata, tanpa harus berusaha mencari makanan sekalipun, kita dapat bertahan hidup berkat jasa orang lain. Alangkah rahmatnya Allah s.w.t. kepada setiap makhluk-Nya," simpulnya.

Sebagai waliyullah, Dzun Nun Al-Mishri bisa merasakan apa yang direnungkan oleh muridnya. Dia pun berkata padanya, "Seharusnya kamu tidak berpikir menjadi burung yang patah sayap itu. Tetapi, berpikirlah menjadi burung yang memberi makan, yang dapat menolong saudaranya."

Ucapan Dzun Nun Al-Mishri ini mengingatkan kita pada sabda Nabi s.a.w., "Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah (al-yadd al-'ulya khair min al-yadd al-sufla)" (HR Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim ditambahkan, yang maksud tangan di atas (al-yadd al-'ulya) adalah pemberi sedekah (al-munfiqah) dan tangan di bawah (al-yadd al-sufla) adalah peminta atau penerima (al-saa'ilah).

Itulah ajaran Islam. Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjadi penderma dan penolong bagi yang membutuhkan. Ini tercermin misalnya dari ajaran zakat (QS Al-Baqarah [2]: 43, 83, dan 110; Al-Ahzaab [33]: 33; Al-Mujaadilah [58]: 13; dan lain-lain). Bahkan, zakat dijajarkan sebagai pilar rukun Islam. Ini menunjukkan, menolong orang yang membutuhkan mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam.

Menarik lagi, seperti janji Allah s.w.t. dalam QS Saba' [34]: 39, kendati kita banyak bederma, itu tidak akan mengurangi harta kita. Allah s.w.t. akan mengganti dan malah menambahnya. Allah s.w.t. berfirman, "Katakanlah, 'Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)'. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah s.w.t. akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baiknya pemberi rezeki."

Tetapi, di sisi lain, Allah s.w.t. juga menantang kita untuk mendermakan barang-barang yang paling kita cintai. Allah s.w.t. berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah s.w.t. mengetahuinya" (QS Ali 'Imraan [3]: 92).

Inilah tantangan yang berat bagi kita. Karena, mendermakan barang yang kita cintai membutuhkan kesadaran beragama yang baik dan pengorbanan yang tulus. Itulah tantangan dan ujian bagi orang beriman. Tinggal kita yang harus membuktikan bahwa kita termasuk orang yang berhak meraih gelar al-birr, melalui berbagai derma.