KOLEKSI PUSTAKA

KOLEKSI PUSTAKA

MENANTI DIBACA

MENANTI DIBACA

MEMBACA

MEMBACA

BUKU PUN TERSENYUM

BUKU PUN TERSENYUM
Selamat Datang dan Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Nasruddin Hoja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasruddin Hoja. Tampilkan semua postingan

Yang Tersulit

Salah seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya, "Manakah keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?"

"Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya," kata Nasruddin.

"Apa itu?"

"Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya."

Nasrudin Memanah

Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena Nasrudin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.

"Ayo Nasrudin," kata Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu."

Nasrudin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nasrudin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."

Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi, "Demikianlah gaya tuan walikota memanah."

Nasrudin segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun berteriak lagi, "Dan yang ini adalah gaya Nasrudin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja."

Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nasrudin.

Pada Sebuah Kapal

Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.

"Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"

Tampak Seperti Wujudmu

Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.

"Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu."

Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"

Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten, "Tampak seperti wujudmu."

Khotbah di Masjid

Oleh masyarakat Nasruddin diberi tugas untuk menyampaikan khotbah di masjid setiap hari Jumat. Rupanya tugas itu selalu berat baginya dan ia senantiasa mencari akal agar tidak usah berkhotbah setiap Jumat.

Pada suatu hari Jumat ia mempunyai suatu gagasan yang bagus. Ketika ia tampil di mimbar dan akan menyampaikan khotbahnya, ia berkata dengan suara keras, "Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara sudah mengetahui yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?"

Para jemaat itu tentu saja terkejut, menjawab, "Belum, kami belum tahu."

Dengan tenang Nasruddin berkata, "Wah, kalau Saudara belum tahu apa-apa mengenai hal yang begini penting, saya kira akan membuang-buang waktu saja bagi saya untuk berbicara mengenai itu."

Sehabis berbicara itu Nasruddin turun dari mimbar dan tidak jadi memberi khotbah.

Hari Jumat berikutnya ia tampil lagi di mimbar dan menyodorkan pertanyaan yang sama seperti pekan sebelumnya.

"Apakah Saudara-saudara tahu mengenai hal yang akan saya bicarakan hari ini?"

Kali ini para jemaat berpikir dan mereka ingat apa yang terjadi seminggu sebelumnya, jadi secara serentak mereka menjawab, "Kami sudah tahu."

Nasruddin pun berkata kepada mereka. "Lha, kalau semua sudah tahu apa yang akan saya sampaikan, saya kira akan membuang-buang waktu saja kalau saya memberi khotbah di sini sekarang."

Dan seperti juga minggu yang sebelumnya, kemudian ia turun mimbar tanpa memberikan khotbah.

Pada hari Jumat ketiga, Nasruddin kembali lagi di mimbar dengan pertanyaan yang sama. "Apakah Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan?"

Kali ini para jemaat agak bingung, ada yang menjawab "Ya" dan ada yang menjawab "Tidak".

"Baiklah," kata Nasruddin. "Beberapa di antara Saudara-saudara tahu apa yang akan saya sampaikan, yang lain tidak tahu, jadi lebih baik yang tidak tahu itu bertanya kepada yang tahu."

Sehabis berbicara itu ia pun turun dari mimbar tanpa memberi khotbah sama sekali.

Cara Membaca Buku

Seorang yang filosof dogmatis sedang menyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.

Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.

"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"

"Aku tahu," jawab Nasrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."

Harga Kebenaran

Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."

Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"

"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."

Nasib Itu Tak Logis

Nasrudin sedang berjalan-jalan dengan santai, ketika tanpa permisi ada orang jatuh dari atap rumah dan menimpanya. Orang yang terjatuh itu tidak terluka sama sekali, tetapi Nasrudin yang tertimpa malah menderita cedera leher. Ia pun diangkut ke rumah sakit.

Para tetangganya datang menjenguknya, mereka bertanya, "Hikmah apa yang didapat dari peristiwa itu, Nasrudin?"

"Jangan percaya lagi pada hukum sebab akibat," jawabnya. "Orang lain yang jatuh dari atap rumah, tetapi leherku yang jadi korbannya. Jadi tidak berlaku lagi logika, Kalau orang jatuh dari atap rumah, lehernya akan patah!"

Teori Kebutuhan

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,

"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."

Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."

Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"

Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."

Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"

Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"

Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."

Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."