KOLEKSI PUSTAKA

KOLEKSI PUSTAKA

MENANTI DIBACA

MENANTI DIBACA

MEMBACA

MEMBACA

BUKU PUN TERSENYUM

BUKU PUN TERSENYUM
Selamat Datang dan Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Kisah Nyata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Nyata. Tampilkan semua postingan

Cambuk untuk Anak Kandung

Kisah tentang keadilan Khalifah Umar bin Khathab cukup banyak. Ini salah satu diantaranya tentang sikap adilnya terhadap Ubaidillah atau yang lebih dikenal dengan Abu Sahmah.

Suatu hari datang seorang wanita dari Bani Najjar. Wanita itu mengadu dizinahi Abu Sahmah hingga hamil dan melahirkan bayi. Tentu saja peristiwa itu memalukan Khalifah.

“Hai Jariyah, benar perkataanmu itu?”, tanya Umar.

“Benar khalifah, jika kurang yakin hamba berani angkat sumpah dengan Al Qur’an”, ujarnya meyakinkan.

Dengan penyumpahan itu, yakinlah Khalifah Umar bahwa wanita itu tak berdusta. Dan anak yang digendongnya itu buah perzinahan dengan Abu Sahmah anak kandungnya sendiri. Ketika ditanyakan kepada anaknya langsung. Abu Sahmah tidak menolaknya.

“Benar ayahku, hukuman apa yang akan Ayah timpakan kepadaku akan kuterima dari pada disiksa diakhirat kelak”, ujarnya pasrah.

Di sinilah sikap adil seorang pemimpin diuji walau harus berhadapan anak kandung sendiri.

“Bagaimana pun juga keadilan harus ditegakkan. Abu Sahmah anakku harus dihukum rajam sesuai dengan hukum Islam”, tekad Umar. Mendengar sikap Umar, banyak sahabat berusaha mencegah dan menasihatinya agar hukuman itu diurungkan atau diganti dengan hukuman lain. Namun ketetapan hati Umar untuk menegakkan keadilan sudah bulat dan tak bisa ditawar lagi.

“Hukum harus ditegakkan tiada pandang bulu”, tegasnya.

Benar jugalah, hukum rajam itu dilaksanakan. Abu Sahmah putra khalifah Umar Bin Khathab menjalani eksekusi hukuman rajam atau cambuk setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hingga akhirnya menemui ajalnya ditiang rajam.

Kisah Menarik Tukang Gorengan

Alkisah, ada seorang anak kecil yang baru saja ditinggal mati oleh ayahnya. Karena tidak ada lagi yang suka memberi dia jajan, iapun diacuhkan oleh teman-temannya. Anak kecil itu berusaha untuk meminta belas kasihan kepada warung-warung tetangganya, bukannya belas kasihan yang ia dapatkan, melainkan hardikan dan usiran.

Suatu hari, bertemulah ia dengan tukang gorengan. Agar menarik perhatian, anak kecil itu bergaya. Sambil berdiri di hadapan tukang gorengan, ia angkat kaki sebelah kirinya lalu ditempelkan ke kaki kanannya, sambil menggigit jari tangan kanannya. Si tukang gorengan hanya memandang sekilas dan membiarkan saja.

Hari pertama, ia pun dicuekin saja. Demikian pula hari kedua dan ketiga. Namun, anak kecil itu tidak putus asa, tetap dengan gaya yang sama. Akhirnya pada hari keempat, karena merasa iba dan kasihan, si tukang gorengan itupun memberikan buntut singkong, sisa-sisa potongan gorengan singkong, yang rasanyapun pahit.

Betapa senangnya anak kecil itu. Dengan mata berbinar  penuh bahagia, iapun memegang buntut singkong itu dengan kedua tangannya, seolah-olah terlihat seperti satu singkong goreng penuh. Ia berlari mengejar teman-temannya, sambil mengacung-ngacungkan buntut singkong, menunjukkan bahwa ia kini punya jajanan.

24 tahun kemudian

Suatu hari, ketika sedang asyik ngaduk-ngaduk gorengannya, tiba-tiba si tukang gorengan itu didatangi oleh seorang pemuda.

“Emm... ternyata tidak ada yang berubah. Pikulan dan gerobak gorengannya, masih seperti dulu,” gumam pemuda itu.

“Mang, masih kenal sama Saya ga?!” tanya pemuda itu.

Si tukang gorengan hanya menggeleng bengong dan bingung.

“Coba ingat-ingat Mang. Masih ingat Saya ga?!” kata pemuda itu penasaran.

“Aduh, siapa ya Den! Amang mah, gak tahu.” Jawab tukang gorengan itu polos.

Akhirnya, pemuda itupun bergaya persis seperti saat dia meminta dikasihani tukang gorengan.

“Oh. Iya...ya... Amang ingat sekarang. Aden yang waktu itu, masih kecil, bergaya seperti itu di depan Amang, selama empat hari berturut-turut. Awalnya Amang cuekin. Karena Amang kasihan, akhirnya Amang kasih buntut singkong.” Jawab tukang gorengan itu.

“Ya betul, Mang. Waktu itu, Saya sungguh senang dan bahagia sekali. Dengan buntut singkong itu, akhirnya Saya diterima lagi oleh teman-teman Saya.” Jawab pemuda itu.

“Karena hanya yang punya jajanan saja yang boleh bergabung dan bermain dengan teman-teman Saya.” Lanjutnya.

“Wah, Den. Gak usah disebut-sebut. Amang jadi malu. Karena hanya memberi Aden buntut singkong.” Jawab tukang gorengan itu tersipu.

“Sebagai rasa terima kasih Saya atas kebaikan Amang. Bagaimana kalau Amang Saya ajak umroh!”.

“Hah... yang bener Den. Jangan main-main?!” Ujar tukang gorengan itu kaget.

“Iya Mang. Saya serius. Saya ajak Amang untuk umroh ke tanah suci.” Jawab pemuda itu meyakinkan.

Tak kuasa menahan haru, sambil berlinang air mata, dipeluknya erat-erat pemuda itu. Sambil berkata, “terima kasih Den! ...terima kasih ...”

“Berterima kasihlah kepada Allah, Mang…. Allah menakdirkan Saya, untuk membalas kebaikan yang telah Amang lakukan 24 tahun yang lalu.” Jawab pemuda itu, sambil memeluk erat tukang gorengan itu penuh haru.

Janji Allah Pasti

Subhanallah … Allahu Akbar ... There’s not impossible in the world. Sungguh kisah kemanusiaan yang sangat menyentuh. Ternyata Allah SWT tidak akan membiarkan berlalu begitu saja, kebaikan yang telah dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, siapapun dan di manapun, sekecil dan sesederhana apapun. Melainkan Ia akan membalasnya dengan yang setimpal, bahkan berlipat, berganda dan tak terduga. Sesuai Firman Allah SWT dalam Qs. Al Zalzalah: 7-8

* Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat balasannya.

* Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat balasannya pula.

(Kisah nyata, disadur dari Buku Miracle Giving, karya Ustadz Yusuf Mansyur)

Kain Kafan dari Nabi

Seorang wanita datang ke Rasulullah. Ia menyerahkan kain tenun yang disulam sendiri dan dipersembahkan kepada nabinya sebagai rasa cintanya kepada rasul. Dengan senang hati Rasulullah menerima pemberian kain itu dan memakainya.

Dengan mengenakan kain pemberian wanita itu Nabi keluar menemui para sahabatnya. Salah seorang sahabat yang melihat begitu indahnya kain yang dikenakan nabi berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah indahnya kain yang engkau kenakan itu. Betapa senang jika aku memakainya”, ujarnya.

“Baiklah”, jawab Nabi singkat.

Setelah keluar dari suatu majelis. Rasulullah datang kembali ke tempat itu tetapi tidak lagi mengenakan kain tenun yang baru dikenakan itu. Kain pemberian wanita itu terlipat di tangannya dan kemudian diserahkan kepada sahabat yang memujinya tadi.

“Terimalah kain ini dan kenakan”, ujar Rasulullah.

Melihat peristiwa itu banyak sahabat yang mencela laki-laki itu. Kain pemberian wanita itu sangat disenangi nabi karena itu dipakainya, tetapi Nabi tiada pernah menolak permintaan seseorang. “Mengapa kau tega memintanya”, gerutu para sahabat.

Apa jawaban sahabat yang meminta kain kepada Rasulullah itu, “Saya minta kain itu bukan untuk saya pakai, melainkan untuk saya gunakan sebagai kain kafanku”, ujarnya.

Kisah Pendiri WhatsApp

http://iphincow.files.wordpress.com/2014/03/kisah-pendiri-whatsapp.jpg?w=450&h=267  Jan Koum, pendiri WhatsApp, lahir dan besar di Ukraina dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia nekat pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang kita kenal sebagai “American Dream”.

Pada usia 17 tahun, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. “Hidup begitu pahit”, Koum membatin.

Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dgn tunjangan kesehatan seadanya. Koum lalu kuliah di San Jose University. Tapi kemudian ia memilih drop out, karena lebih suka belajar programming secara autodidak.

Karena keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo!. Ia bekerja di sana selama 10 tahun. Di tempat itu pula, ia berteman akrab dengan Brian Acton.

Keduanya membuat aplikasi WhatsApp tahun 2009, setelah resign dari Yahoo!. Keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah menanjak popularitasnya saat itu, namun diitolak. Facebook mungkin kini sangat menyesal pernah menolak lamaran mereka.

Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 224 triliun) beberapa hari lalu, Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu, saat umur 17 tahun, setiap pagi antre untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antre. Mengenang saat-saat sulit, dimana bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang.. Pelan2, air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu.

Ia lalu mengenang ibunya yg sudah meninggal karena kanker. Ibunya yang rela menjahit baju buat dia demi menghemat. “Tak ada uang, Nak…”. Jan Koum tercenung. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan berita bahagia ini kepada ibunya.

Rezeki datang dari arah dan bentuk yang tidak terduga. Remaja miskin yg dulu dapat jatah makan itu kini jadi Triliuner.
 
Sumber:  http://iphincow.com/2014/03/07/kisah-pendiri-whatsapp/

Bai Fang Li: Seorang yang Istimewa

Istimewa bukan karena kedudukan dan harta, istimewa bukan karena kemewahan dan jabatannya. Namun istimewa karena apa yang ada di hatinya, yaitu kedermawanan.

Tentu kita kenal dengan Oprah Winfrey. Jika dia menyumbang ratusan dan ribuan dolar, tentu kita kagum namun tidaklah terkejut. Mungkin juga rajanya microsoft, Bill Gates yang mendermakan jutaan dolar, kita juga barangkali menganggap hal hebat yang biasa saja.

Namun saat kita diperlihatkan kedermawanan dari orang yang dalam kesusahan, itu adalah hal yang tentunya mengetuk hati kita.

Berikut adalah cerita kisah nyata tentang Bai Fang Li.

BAI FANG LI adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya.

Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya.

Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal.

Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu.

“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.

“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis……..

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.