Inilah contoh seorang yang egois, ingin masuk surga sendiri tanpa memikirkan orang lain. Abu Yasid Al Busthami adalah seorang yang dikenal rajin bermunajat kepada Allah karena ingin masuk surga. Hatinya suka cita, pikirannya seolah-olah melayang sampai ke arasy Tuhan. Hati kecilnya berbisik, inilah tempat Rasulullah, semoga aku kelak menjadi tetangganya di surga.
Ketika dia sadar dalam khayalannya, terdengar suara menyeru. “Ada seorang hamba yang kelak menjadi tetanggamu di surga. Ia tinggal di negeri ini”, kata suara itu.
Terdorong ingin mencari sahabatnya yang kelak menjadi tetangganya di surga, Abu Yasid pergi mencari hamba yang disebutkan itu. Ia berjalan kaki sejauh 100 farsah hingga sampai ke sebuah negeri tempat hamba yang disebutkan itu.
Ketika ia akan menjumpai hamba itu, seorang lelaki menasehatinya. “Mengapa engkau mencari orang yang fasiq dan peminum arak itu. Padahal dari tanda-tanda di dahimu kau adalah seorang yang shaleh”, ujarnya.
Mendengar nasihat itu, hati Yasid jadi termangu. “Jika demikian, suara yang menyuruhku saat aku bermunajat itu adalah suara syaitan. Mengapa aku harus menurutinya”, bisiknya di dalam hati. Tetapi ketika dia akan melangkahkan kaki untuk kembali, hatinya termangu lagi. “Aku datang jauh-jauh kemari untuk menemui hamba itu, padahal aku belum berjumpa. Aku tak akan pulang sebelum bertemu dia”, bisiknya dalam hati.
“Di mana tempat hamba itu”, tanya Yasid.
“Dia sekarang sedang mabuk-mabukan di tempat ini”, ujar lelaki itu. Maka melangkahlah kaki Yasid menemui hamba yang disebutkan itu. Benar juga, di tempat itu ia melihat 40 lelaki sedang mabuk-mabukan minum khamr sementara hamba yang dicarinya itu tampak duduk-duduk di tengah mereka.
Ini bagianmu
Begitu melihat kenyataan yang kontras dari apa yang disangka sebelumnya, Abu Yasid Al Busthami cepat membalikkan kaki pulang meninggalkan mereka. Ia merasa kesal dan berputus asa, tetapi hamba itu cepat-cepat memanggilnya.
“Hai Abu Yasid mengapa engkau tak jadi masuk rumah ini. Tidakkah engkau jauh-jauh datang kemari hanya karena ingin menjumpaiku. Katanya engkau mencari seorang tetanggamu di surga kelak?”, ujar lelaki itu.
Mendengar ucapan hamba itu, hati Abu Yasid menjadi masygul. Ia tak habis pikir bagaimana hamba itu mengetahui maksud kedatangannya padahal ia belum menyampaikan isi hatinya.
“Engkau begitu cepat meninggalkan rumah ini tanpa mengucapkan salam, tanpa perjumpaan dan memberi nasehat”, kata hamba itu lagi yang menambah hati Yasid terpukul.
Dalam keadaan hati yang galau Abu Yasid tak bisa mengucapkan kata-kata di hadapan hamba itu. Mulutnya terkunci, tetapi ada pergulatan di dalam hatinya.
“Sudahlah Abu Yasid. Kau tak perlu banyak berfikir dan merasa heran. Yang menyuruhmu datang kemari telah memberitahukan kepadaku atas kedatanganmu. Ayo masuklah ke rumahku, duduklah barang sesaat”, ajak hamba itu. Dengan sedikit ragu Abu Yasid pun menurutinya masuk ke rumah dan duduk di antara mereka yang mabuk-mabukkan itu.
“Apa sih yang terjadi di rumah ini. Dan apa pula perananmu di sini”, tanya Abu Yasid.
“Hai Abu Yasid. Masuk surga jangan egois cuma ingin enaknya sendiri. Itu bukan sifat utama dan mulia dari seorang lelaki seperti engkau. Dulu ada 80 orang fasiq yang suka mabuk-mabukan seperti yang kau lihat ini. Kemudian aku berusaha membiarkan mereka agar bisa menjadi teman dan tetanggaku kelak di surga. Yang 40 sudah berhasil berhenti dari kefasiqan, kini tersisa 40 orang ini. Inilah tugasmu untuk membinanya untuk bertaubat agar bisa menjadi tetanggamu kelak di surga.
Bagai disambar petir hati Abu Yasid mendengar ucapan hamba itu. Hatinya luluh dan merasa terpanggil mengikuti jejak hamba itu. Dia bertekad harus bisa menyadarkan 40 orang fasiq itu sebagai tetangga kelak di surga.
Kepada 40 orang yang tengah mabuk-mabukan itu, si hamba itu mengenalkan bahwa orang yang datang itu adalah Abu Yasid Al Busthami. Dialah sahabat mereka yang akan mengajak bersama-sama menjadi penghuni surga. Dengan dakwah dan pembinaan khusus akhirnya 40 orang itu sadar dan bertaubat. Mereka itulah tetangga Abu Yasid di surga kelak.
Ketika dia sadar dalam khayalannya, terdengar suara menyeru. “Ada seorang hamba yang kelak menjadi tetanggamu di surga. Ia tinggal di negeri ini”, kata suara itu.
Terdorong ingin mencari sahabatnya yang kelak menjadi tetangganya di surga, Abu Yasid pergi mencari hamba yang disebutkan itu. Ia berjalan kaki sejauh 100 farsah hingga sampai ke sebuah negeri tempat hamba yang disebutkan itu.
Ketika ia akan menjumpai hamba itu, seorang lelaki menasehatinya. “Mengapa engkau mencari orang yang fasiq dan peminum arak itu. Padahal dari tanda-tanda di dahimu kau adalah seorang yang shaleh”, ujarnya.
Mendengar nasihat itu, hati Yasid jadi termangu. “Jika demikian, suara yang menyuruhku saat aku bermunajat itu adalah suara syaitan. Mengapa aku harus menurutinya”, bisiknya di dalam hati. Tetapi ketika dia akan melangkahkan kaki untuk kembali, hatinya termangu lagi. “Aku datang jauh-jauh kemari untuk menemui hamba itu, padahal aku belum berjumpa. Aku tak akan pulang sebelum bertemu dia”, bisiknya dalam hati.
“Di mana tempat hamba itu”, tanya Yasid.
“Dia sekarang sedang mabuk-mabukan di tempat ini”, ujar lelaki itu. Maka melangkahlah kaki Yasid menemui hamba yang disebutkan itu. Benar juga, di tempat itu ia melihat 40 lelaki sedang mabuk-mabukan minum khamr sementara hamba yang dicarinya itu tampak duduk-duduk di tengah mereka.
Ini bagianmu
Begitu melihat kenyataan yang kontras dari apa yang disangka sebelumnya, Abu Yasid Al Busthami cepat membalikkan kaki pulang meninggalkan mereka. Ia merasa kesal dan berputus asa, tetapi hamba itu cepat-cepat memanggilnya.
“Hai Abu Yasid mengapa engkau tak jadi masuk rumah ini. Tidakkah engkau jauh-jauh datang kemari hanya karena ingin menjumpaiku. Katanya engkau mencari seorang tetanggamu di surga kelak?”, ujar lelaki itu.
Mendengar ucapan hamba itu, hati Abu Yasid menjadi masygul. Ia tak habis pikir bagaimana hamba itu mengetahui maksud kedatangannya padahal ia belum menyampaikan isi hatinya.
“Engkau begitu cepat meninggalkan rumah ini tanpa mengucapkan salam, tanpa perjumpaan dan memberi nasehat”, kata hamba itu lagi yang menambah hati Yasid terpukul.
Dalam keadaan hati yang galau Abu Yasid tak bisa mengucapkan kata-kata di hadapan hamba itu. Mulutnya terkunci, tetapi ada pergulatan di dalam hatinya.
“Sudahlah Abu Yasid. Kau tak perlu banyak berfikir dan merasa heran. Yang menyuruhmu datang kemari telah memberitahukan kepadaku atas kedatanganmu. Ayo masuklah ke rumahku, duduklah barang sesaat”, ajak hamba itu. Dengan sedikit ragu Abu Yasid pun menurutinya masuk ke rumah dan duduk di antara mereka yang mabuk-mabukkan itu.
“Apa sih yang terjadi di rumah ini. Dan apa pula perananmu di sini”, tanya Abu Yasid.
“Hai Abu Yasid. Masuk surga jangan egois cuma ingin enaknya sendiri. Itu bukan sifat utama dan mulia dari seorang lelaki seperti engkau. Dulu ada 80 orang fasiq yang suka mabuk-mabukan seperti yang kau lihat ini. Kemudian aku berusaha membiarkan mereka agar bisa menjadi teman dan tetanggaku kelak di surga. Yang 40 sudah berhasil berhenti dari kefasiqan, kini tersisa 40 orang ini. Inilah tugasmu untuk membinanya untuk bertaubat agar bisa menjadi tetanggamu kelak di surga.
Bagai disambar petir hati Abu Yasid mendengar ucapan hamba itu. Hatinya luluh dan merasa terpanggil mengikuti jejak hamba itu. Dia bertekad harus bisa menyadarkan 40 orang fasiq itu sebagai tetangga kelak di surga.
Kepada 40 orang yang tengah mabuk-mabukan itu, si hamba itu mengenalkan bahwa orang yang datang itu adalah Abu Yasid Al Busthami. Dialah sahabat mereka yang akan mengajak bersama-sama menjadi penghuni surga. Dengan dakwah dan pembinaan khusus akhirnya 40 orang itu sadar dan bertaubat. Mereka itulah tetangga Abu Yasid di surga kelak.
0 komentar:
Posting Komentar