وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orangtua.” (Q.S. Al Ankabuut: 8)
Siang itu saat i’tikaf di sebuah masjid di daerah Jendral Sudirman, Jakarta, datang seorang pria bernama Mucthar (bukan nama sebenarnya). Pria ini adalah orang berada, dari paras dan pakaian yang dikenakannya saya dapat menyimpulkan itu.
Setelah shalat Zhuhur, kami berbincang-bincang. Kami mencoba merenungi karunia apa yang pernah Allah s.w.t. limpahkan selama hidup.
Satu per satu orang mengutarakan karunia Allah yang ia rasakan. Subhanallah, terkadang dalam duduk sesaat merenungi karunia Allah bersama kumpulan orang-orang yang shalih bisa membuat hidup lebih berarti dan sarat makna.
Satu demi satu masing-masing kami merasakan betapa Allah s.w.t. sangat sayang kepada setiap hamba-Nya. Namun, sedikit sekali dari manusia yang pandai bersyukur kepada Allah s.w.t.
Kini giliran Muchtar untuk bicara. Ia menyatakan bahwa sampai saat ini dia bekerja sebagai konsultan dalam bidang pertambangan.
“Tidak semua orang yang bekerja di bidang ini selalu berlebih harta,” menurutnya. “Namun perkara lapang atau sempit, sebetulnya ada dalam hati masing-masing orang,” lanjutnya. “saya ingat tahun 90-an, saya punya uang sekitar Rp. 40 juta. Istri saya berencana menggunakan uang itu untuk membeli sebuah rumah di Serpong, dan memang saat itu kami belum memiliki rumah. Kemudian saya usul kepada Istri, bahwa kedua orangtua kami belum pernah berhaji. Mumpung mereka masih ada umur dan kita ada kelapangan uang 40 juta, kiranya berkenankah dia mengikhlaskan uang ini untuk memberangkatkan mereka berempat ke tanah suci?” Muchtar menjelaskan awal masalah kepada kami semua.
Selanjutnya, Muchtar mengutarakan bahwa malam itu setelah melewati beberapa pertimbangan, akhirnya sang istri menuruti usulnya. Proses ini tidak mudah, berkali-kali istrinya berpikiran goyah, sehingga hampir membatalkan niat untuk memberangkatkan haji kedua orangtua mereka.
“Namun saya bilang kepada istri, bahwa ini adalah bentuk bakti kita kepada orangtua. Pastilah Allah akan membayar kebaikan ini! Apalagi sesampainya di sana, orangtua kita akan mendoakan di tempat-tempat mustajab. Saya jamin, Allah pasti akan membalas kebaikan ini!” Jelas Muchtar kepada istrinya.
Ketegaran hati pun mengkristal dan niat suci pun terlaksanakan. Saat itu ongkos naik haji (ONH) kira-kira Rp. 7 juta. Ditambah biaya bimbingan dan biaya hidup selama di tanah suci, maka kira-kira uang Rp. 40 juta itu cukup.
Muchtar dan istrinya kemudian mendaftar dan membayar biaya haji bagi kedua orangtua mereka.
***
Tidak ada yang sia-sia saat kita melakukan kebaikan. Energi kebaikan itu akan kembali kepada pemiliknya. Bahkan, ia bisa kembali menjadi besar hingga menggunung dan mengejutkan pemilik kebaikan itu. Apalagi bila kebaikan itu ditunaikan kepada orangtua yang begitu berjasa atas kehidupan kita? Bukankah Allah akan ridha bila orangtua meridhai kita?
Hanya tiga bulan berselang dari pendaftaran haji dan penyerahan biaya haji itu, orangtua pun belum berangkat haji ke tanah suci, namun Muchtar sudah mendapatkan balasan ilahi.
“Saya gak sangka Pak, saat itu saya menerima bonus akhir tahun dari perusahaan senilai Rp. 360 juta! Saya kaget dan teramat bersyukur kepada Allah s.w.t. Yang Maha Pemurah. Sesampainya di rumah, saya ceritakan hal tersebut kepada istri, dan istri saya pun terperanjat. Akhirnya, kami merasakan betapa Allah s.w.t. menepati janji-Nya,” jelas Muchtar.
Uang itu ia belikan mobil dan sebuah rumah. Ya, sebuah rumah yang dibeli setelah ditangguhkan keinginan memilikinya demi berbakti kepada orangtua. Allah memberi rumah yang lebih besar dari keinginan semula. Bukankah ini adalah sebuah keberuntungan? Ya, oleh karena itu, perbanyaklah kebaikan dan berbaktilah kepada orangtua!
0 komentar:
Posting Komentar