“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)
Ikhlas selama ini di pandang sebagai sebuah misteri, ulama melihat persoalan ikhlas hanya di lihat dari kondisi mental dan psikis manusia saja. Ikhlas sendiri adalah kondisi pikiran dan hati manusia, dimana ia memurnikan dan menyerahkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Ikhlas juga bisa di simpulkan sebagai proses penyerahan diri manusia sebagai makhluk (ciptaan) pada Sang Khalik (Pencipta) secara utuh, untuk segala aktifitas usaha dan ikhtiarnya, dalam segala ketetapan yang di putuskan Sang Khalik (pencipta) pada makhluknya (ciptaan).
Ikhlas, membawa ketentraman hati dalam diri manusia. Hati yang tentram adalah bukti “Rasa Ber-Tuhan” ada dalam diri manusia, rasa itu juga akan membawa nilai-nilai positif dalam kehidupan manusia. Ikhlas sendiri, juga bisa membawa manusia pada penyerahan diri secara total atas keberadaan Allah sebagai sang Pencipta.
Dan keberadaan Tuhan dalam diri manusia bukanlah mitos atau spekulasi belaka, motivasi ilmiah ilmu pengetahuan modern berusaha mencari keberadaan “Rasa Ber-Tuhan” dalam diri manusia. Keikhlasan manusia, bisa diartikan sebagai bukti hadirnya “Rasa Ber-Tuhan”, dan hal tersebut tidak di persepsikan sebatas semangat dan potensialnya saja. Tapi juga ke-hancef-an (kecenderungan pada yang baik), para ilmuwan Noeorusains, telah mengkaji bahwa keberadaan “Rasa Ber-Tuhan” itu, ada dalam otak manusia.
Vilyanur Ramachandran (2002), ahli otak yang menyebut adanya God Spot dalam otak manusia ketika melaporkan kasus 'melihat' Tuhan yang dialami oleh Dr Michael Persinger, neoro-psikolog dari Kanada, ketika otaknya dipasangi kabel-kabel magnetik perekam aktivitas bagian-bagian otak. Persinger, meski sekular seratus persen, tapi dengan perangsangan magnetik pada lobus temporal-nya, ia dapat 'melihat' Tuhan. Melihat-Nya bukan secara objektif dengan indra manusia, tapi adanya perasaan mistis yang dialaminya.
God Spot ini bertempat di bagian dahi yang di dalamnya terjadi pemaknaan terhadap apa yang didengar dan apa yang dicium. Aktifitas lobus temporal ini meningkat ketika seseorang diberi nasihat-nasihat religius. Ramachandran meyakini keberadaan jalur khusus syaraf yang berhubungan dengan agama dan pengalaman religius. Rasa beragama ini melalui "proses kimiawi" dalam jaring syaraf tertentu dan karenanya tidak bersifat kosmis, seperti keyakinan banyak para penganut tasawuf.
Ilmuan lain, Erich Fromn (1989) menuturkan tentang aktivitas khusus lobus temporal sebagai bukti bahwa beragama, memang sudah menyatu (built in) dengan manusia. Sifat religiusitas ini tidak bisa hilang, walau seseorang tidak menganut satu agama (secara formal). Meski perasaan ini bisa di alami setiap orang kapan dan dimanapun, seperti para mistis yang biasa menciptakannya. Tapi para ilmuwan telah melakukannya dengan cara yang berbeda, yakni menyentuh bagian tertentu dengan perangsangan magnetik pada otak hingga perasaan itu muncul.
Dalam model yang berbeda, belakangan populer istilah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotien, SQ), yang ada dalam setiap individu temuan Danah Zohar dan Ian Marshal (2002). Ini melengkapi temuan dua kecerdasan sebelumnya yakni kecerdasan intelektual (Intellectual Quotien, IQ) yang diperkenalkan oleh Wilhelm Stern dan kecerdasan emosional (Emotional Quotien, EQ) yang di temukan oleh Joseph deLoux yang kemudian di populerkan oleh Daniel Goleman. Kecerdasan Spiritual (SQ) setingkat lebih tinggi dari kecerdasan emosional (EQ) yang mengelola perasaan pemiliknya.
Kecerdasan Spiritual atau SQ itu adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal yang transenden. Ia melampaui kekinian dari pengalaman manusia dan merupakan bagian terdalam dan terpenting dari manusia, yang oleh ilmuan neorosains dibuktikan berbasiskan pada otak manusia. Basis itu adalah; (1) Osilasi 40 Hz, (2) Penanda Somatik, (3) Bawah Sadar Kognitif, dan (4) God Spot. Keempatnya melukiskan kesatuan kerja jaringan saraf yang menyatukan kepingan-kepingan pengalaman menjadi sesuatu yang utuh. Mereka menjadi substrak kehadiran Tuhan yang sekian lama hanya dapat 'diraba-raba' dengan piranti teologis.
Selain pencarian jejak Tuhan melalui otak, kondisi keikhlasan juga dapat di temui melalui jasmani dan ruhani manusia. Karena jati diri manusia itu terdiri dari tiga bagian penting, yaitu jasmani, ruhani, dan akal. Ikhlas seorang manusia akan mempengaruhi prilaku positif, yang mengarah pada kecenderungan seseorang berbuat kebaikan. Energi positif ikhlas dalam diri manusia, lambat laun akan membawa aktivitas hidup manusia tersebut, pada kualitas hidup terbaiknya. Apabila proses ikhlas itu terus berlangsung berulang-ulang, maka pengaruhnya akan sangat baik bagi kesehatan jasmani manusia dengan meningkatnya sistem imunitas dan keseimbangan hormon, yang akan memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia. Juga kesehatan ruhani, membangun mental psikis yang positif. Dan kesehatan akal, dengan pikiran-pikiran positifnya juga.
Ikhlas selama ini di pandang sebagai sebuah misteri, ulama melihat persoalan ikhlas hanya di lihat dari kondisi mental dan psikis manusia saja. Ikhlas sendiri adalah kondisi pikiran dan hati manusia, dimana ia memurnikan dan menyerahkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Ikhlas juga bisa di simpulkan sebagai proses penyerahan diri manusia sebagai makhluk (ciptaan) pada Sang Khalik (Pencipta) secara utuh, untuk segala aktifitas usaha dan ikhtiarnya, dalam segala ketetapan yang di putuskan Sang Khalik (pencipta) pada makhluknya (ciptaan).
Ikhlas, membawa ketentraman hati dalam diri manusia. Hati yang tentram adalah bukti “Rasa Ber-Tuhan” ada dalam diri manusia, rasa itu juga akan membawa nilai-nilai positif dalam kehidupan manusia. Ikhlas sendiri, juga bisa membawa manusia pada penyerahan diri secara total atas keberadaan Allah sebagai sang Pencipta.
Dan keberadaan Tuhan dalam diri manusia bukanlah mitos atau spekulasi belaka, motivasi ilmiah ilmu pengetahuan modern berusaha mencari keberadaan “Rasa Ber-Tuhan” dalam diri manusia. Keikhlasan manusia, bisa diartikan sebagai bukti hadirnya “Rasa Ber-Tuhan”, dan hal tersebut tidak di persepsikan sebatas semangat dan potensialnya saja. Tapi juga ke-hancef-an (kecenderungan pada yang baik), para ilmuwan Noeorusains, telah mengkaji bahwa keberadaan “Rasa Ber-Tuhan” itu, ada dalam otak manusia.
Vilyanur Ramachandran (2002), ahli otak yang menyebut adanya God Spot dalam otak manusia ketika melaporkan kasus 'melihat' Tuhan yang dialami oleh Dr Michael Persinger, neoro-psikolog dari Kanada, ketika otaknya dipasangi kabel-kabel magnetik perekam aktivitas bagian-bagian otak. Persinger, meski sekular seratus persen, tapi dengan perangsangan magnetik pada lobus temporal-nya, ia dapat 'melihat' Tuhan. Melihat-Nya bukan secara objektif dengan indra manusia, tapi adanya perasaan mistis yang dialaminya.
God Spot ini bertempat di bagian dahi yang di dalamnya terjadi pemaknaan terhadap apa yang didengar dan apa yang dicium. Aktifitas lobus temporal ini meningkat ketika seseorang diberi nasihat-nasihat religius. Ramachandran meyakini keberadaan jalur khusus syaraf yang berhubungan dengan agama dan pengalaman religius. Rasa beragama ini melalui "proses kimiawi" dalam jaring syaraf tertentu dan karenanya tidak bersifat kosmis, seperti keyakinan banyak para penganut tasawuf.
Ilmuan lain, Erich Fromn (1989) menuturkan tentang aktivitas khusus lobus temporal sebagai bukti bahwa beragama, memang sudah menyatu (built in) dengan manusia. Sifat religiusitas ini tidak bisa hilang, walau seseorang tidak menganut satu agama (secara formal). Meski perasaan ini bisa di alami setiap orang kapan dan dimanapun, seperti para mistis yang biasa menciptakannya. Tapi para ilmuwan telah melakukannya dengan cara yang berbeda, yakni menyentuh bagian tertentu dengan perangsangan magnetik pada otak hingga perasaan itu muncul.
Dalam model yang berbeda, belakangan populer istilah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotien, SQ), yang ada dalam setiap individu temuan Danah Zohar dan Ian Marshal (2002). Ini melengkapi temuan dua kecerdasan sebelumnya yakni kecerdasan intelektual (Intellectual Quotien, IQ) yang diperkenalkan oleh Wilhelm Stern dan kecerdasan emosional (Emotional Quotien, EQ) yang di temukan oleh Joseph deLoux yang kemudian di populerkan oleh Daniel Goleman. Kecerdasan Spiritual (SQ) setingkat lebih tinggi dari kecerdasan emosional (EQ) yang mengelola perasaan pemiliknya.
Kecerdasan Spiritual atau SQ itu adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal yang transenden. Ia melampaui kekinian dari pengalaman manusia dan merupakan bagian terdalam dan terpenting dari manusia, yang oleh ilmuan neorosains dibuktikan berbasiskan pada otak manusia. Basis itu adalah; (1) Osilasi 40 Hz, (2) Penanda Somatik, (3) Bawah Sadar Kognitif, dan (4) God Spot. Keempatnya melukiskan kesatuan kerja jaringan saraf yang menyatukan kepingan-kepingan pengalaman menjadi sesuatu yang utuh. Mereka menjadi substrak kehadiran Tuhan yang sekian lama hanya dapat 'diraba-raba' dengan piranti teologis.
Selain pencarian jejak Tuhan melalui otak, kondisi keikhlasan juga dapat di temui melalui jasmani dan ruhani manusia. Karena jati diri manusia itu terdiri dari tiga bagian penting, yaitu jasmani, ruhani, dan akal. Ikhlas seorang manusia akan mempengaruhi prilaku positif, yang mengarah pada kecenderungan seseorang berbuat kebaikan. Energi positif ikhlas dalam diri manusia, lambat laun akan membawa aktivitas hidup manusia tersebut, pada kualitas hidup terbaiknya. Apabila proses ikhlas itu terus berlangsung berulang-ulang, maka pengaruhnya akan sangat baik bagi kesehatan jasmani manusia dengan meningkatnya sistem imunitas dan keseimbangan hormon, yang akan memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia. Juga kesehatan ruhani, membangun mental psikis yang positif. Dan kesehatan akal, dengan pikiran-pikiran positifnya juga.
0 komentar:
Posting Komentar