هُوَ اللَّهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al Hasyr 59: 23)
Al Jabbar secara lughoh bisa bermakna ketinggian, keagungan, atau istiqamah. Sedang al jabbar bila dinisbatkan kepada Allah bisa bermakna “ketinggian atau keagungan sifat yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun”. Ada juga yang memaknai al jabbar sebagai yang maha tinggi yang memaksa semua yang rendah untuk tunduk patuh kepada-Nya. Dari sini kemudian muncul makna baru dari al jabbar yakni Yang Maha Pemaksa, Yang Kehendaknya Tidak Diingkari, atau Yang Maha Perkasa.
Allah Yang Maha Pemaksa ketika menciptakan langit dan bumi memerintahkan keduanya datang dengan patuh atau terpaksa. Mareka menjawab: “Kami datang dengan patuh.” (QS Al Fushilat 41: 11). Pada hakekatnya di dunia ini tidak ada makhluk yang mampu menentang kehendak Allah. Semua berjalan sesuai dengan sunnatullah. Seseorang bisa lari dari satu sunnatullah, tetapi dia pasti menuju sunnatullah yang lain. Orang yang mengikuti sunnatullah dan berjalan di atas syari’at-Nyalah yang dikatakan sebagai orang yang tunduk patuh kepada-Nya.
Di sisi lain jabbar juga bisa bermakna yang menumbuhkan dan memperbaiki sehingga keadaannya kembali seperti semula. Dalam konteks ini Allahlah yang dapat menumbuhkan kembali semangat manusia yang hancur karena mengalami goncangan batin yang disebabkan oleh kematian anggota keluarga, kebangkrutan bisnis, bencana alam dan sejenisnya. Kefahaman manusia akan kecilnya nilai dunia dibanding dengan akherat akan menumbuhkan kembali kesadaran bahwa apa yang hilang darinya tidaklah bermakna di hadapan Allah. Dunia ini hanya bersifat sementara, sedang kehidupan akheratlah yang kekal. Akan tumbuh semangat untuk mengejar akherat dan melupakan apa yang telah hilang. Allah juga yang dapat memperbaiki kehancuran akhlak manusia kembali kepada fitrahnya bertauhid seperti ketika berada di dalam kandungan ibunya (QS Al A’raf 7: 172).
Imam Ghazali sifat Allah Yang Maha Pemaksa ini dapat pula diteladani oleh manusia terpuji seperti Rasulullah saw. Karena kemuliaan akhlaknya Rasulullah saw, maka para sahabatnya mencintainya, menghormatinya, menempatkannya pada posisi yang amat tinggi, dan mengikuti pola hidupnya. Dengan sikap dan keteladanannya Rasulullah saw secara tidak langsung memaksa para sahabat untuk mengikuti perilakunya dalam kehidupan sehari-hari dan mengadopsi pola hidup Islam yang diajarkannya. Dalam hal ini Rasulullah tidak mengambil manfaat tetapi memberi manfaat, beliau mempengaruhi tidak dipengaruhi, dan beliau diikuti tidak mengikuti.
Kita dapat meneladai sifat jabbar dengan memperbaiki kualitas akhlak hingga ke tingkat akhlak mulia. Dengan akhlak mulia inilah kita memberi keteladanan hidup kepada keluarga kita, sehingga anak dan istri menghormati. Penghormatan anak istri karena kemuliaan akhlak kepada rumah tangga akan menjadi kunci sukses dalam membangun keluarga yang berhias sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kamuliaan akhlak seorang kepala rumah tangga secara tidak langsung akan mengundang penghormatan anggota keluarga dan menggerakkan hati mereka untuk mengikuti kebijakan-kebijakan yang digariskannya untuk keluarganya. Begitu pula yang akan terjadi bila kepala kantor, kepala perusahaan, kepala daerah, dan kepala negara berakhlak mulia. Kemuliaan akhlak seorang pimpinan akan menumbuh-kan rasa cinta bawahannya, mengundang penghormatan mereka, dan mengikuti kebijakannya dengan penuh kesadaran. Yang perlu kita fahami adalah kemuliaan akhlak ini hanya dapat dicapai dengan Islam. Al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi.
Maka pantas sekali kalau Allah swt senantiasa mengutus para nabi dengan berbekal akhlak karimah yang senantiasa menyeru kepada umatnya u’budullaha wajtanibuththaghut (sembahlah Allah dan jauhilah thaghut). Seruan untuk menghambakan diri hanya kepada Allah dan menjauhi thaghut inilah yang menjadi fondasi dari bangunan akhlak karimah yang intinya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini mestinya bani Israil menjadi bangsa yang paling beruntung, karena sebagian besar nabi diutus dari golongan mereka. Tetapi karena keingkarannya maka mereka pula yang menjadi bangsa yang paling banyak dikutuk Allah di dalam Al Qur’an. Di antara mereka ada kelompok orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan ada pula kelompok orang yang tersesat (Nasrani). Mereka telah sesat dan menyesatkan banyak orang (QS Al Maidah 5: 77).
Mestinya kemuliaan akhlak para nabi menjadi teladan bagi para pemimpin bangsa. Manusia karena hawa nafsunya cenderung untuk berbuat jahat (QS Yusuf 12: 53). Maka para pemimpin dengan kemulian akhlaknya karena Al Qur’an diharapkan dapat membimbing mereka ke jalan keselamatan. Dengan pemimpin yang berakhlak karimah maka peraturan dan kebijakan yang digariskan akan sesuai dengan akhlaknya. Pelaksanaan kebijakan diharapkan tidak menyimpang dari akhlaknya. Pengawasan di lapanganpun diharapkan sesuai dengan tuntutan akhlaknya. Begitu besar pengaruh akhlak ini, maka tidak mengherankan kalau Rasulullah saw sebenarnya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak karimah.
Sumber: http://islamthetruth.wordpress.com/muhasabah/al-jabbar/
shodaqallah
BalasHapus