(Disarikan dari Tausiyah Abah Hasyim Muzadi)
.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan tentang bagaimana cara menjaga dan mengembangkan tauhid atau Wahdaniyyatullah (Ke-esa-an Allah SWT).
Di dalam agama Islam, kata kunci dari tauhid adalah لا إله إلا الله. Formulasi kata-kata kalimat tauhid ini mengandung pengertian dan mengandung pengamalan. Mengenai masalah pengertian, لا إله إلا الله ini artinya; لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ(Tidak ada yang patut dituhankan, kecuali Allah SWT). Kata مَعْبُوْدَ di sini mempunyai dua segi makna;
- Ma’bud artinya: disembah. Maka dari itu makna lafadz لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ adalah “Tidak ada yang boleh disembah kecuali Allah”
- Ma’bud artinya: menghamba, maka kata لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ bermakna: “Tidak boleh ada yang ditaati kecuali Allah”.
Kenapa lafadz لا إله إلا الله dimulai dengan kalimat negatif (نَفْيٌ)? kenapa tidak langsung menggunakan kalimat itsbat atau affirmatif (إِثْبَاتْ), misalnya; الله إِلهٌ (Allah adalah Tuhan)?. Jadi, lafadz لا إله إلا الله itu meniadakan dulu (nafyu), baru kemudian ada keputusan (itsbat). Alasannya: Karena kalau seseorang dibiarkan memikirkan tuhan tanpa agama, maka tuhan-nya akan jatuh di luar Allah SWT. Misalnya: Menuhankan lautan, api, makhluk halus, angin, dsb. Biasanya yang disembah adalah gejala alam yang dianggap menakutkan atau dianggap menghidupi. Contoh: Api, angin, badai, Dewi Sri, dll. Jadi, kalau seseorang dibiarkan mencari tuhan sendiri, maka mereka akan menuhankan alam. Padahal, selain tuhan bukanlah tuhan, melainkan alam. Jadi hanya ada dua kategori, tuhan dan alam. Selain Allah SWT adalah alam; tidak ada unsur kealaman di dalam Dzat Allah SWT dan tidak ada unsur ketuhanan di dalam alam.
Sekarang ini karena didikan agama yang kurang dan karena kegelisahan orang, maka tauhid ini mulai terganggu, sehingga mulai ada orang yang menuhankan kebutuhan, menuhankan alam, menuhankan alam ghaib, dan semacamnya, padahal sekalipun ghaib, posisinya masih tetap sebagai alam. Adapun faktor-faktor yang membuat tauhid kita terganggu antara lain:
- Pengertian tauhidnya memang tidak beres
- Godaan kebutuhan atau ada interest (mashlahiyyah).
- Kemiskinan atau ketidak-terjangkauan.
Oleh karenanya, tauhid kita harus diperkuat dengan cara memproses pengertian menjadi penghayatan. Jadi, bagaimana pengertian kita terhadap lafadz لا إله إلا الله diproses menjadi rasa terhadap lafadz لا إله إلا الله tersebut. Penghayatan itu berbeda dengan pengertian. Kalau pengertian itu jalurnya adalah rasio, sedangkan penghayatan merupakan kelanjutan rasio itu yang kemudian diterima oleh rasa.
Penghayatan ini dilakukan dalam ilmu tarikat (thariqat atau cara). Adapun tata caranya adalah: Harus melalui dzikir kepada Allah SWT. Jadi, لا إله إلا الله itu jangan digeletakno begitu saja. Setiap kali mengucapkan لا إله إلا الله, haruslah diucapkan dengan hati yang terbuka. Hal ini dimaksudkan agar pengertian itu masuk ke dalam hati dan dalam rasa. Sedangkan yang dimasukkan ke dalam hati itu adalah makna dari formulasi kalimat لا إله إلا الله tersebut.
Mulai sekarang kita harus mulai belajar dzikir. Dzikir itu modalnya adalah pengertian terhadap apa yang diucapkan dan konsentrasi (penggabungan semua potensi yang dimiliki oleh seseorang, baik berupa potensi hati, nafsu, ruh, maupun potensi akal. Semuanya diheningkan dan disatukan untuk memfokus pada satu titik yang diucapkan).
Membaca kalimat لا إله إلا الله dengan tenang akan lebih efektif dari pada banter dan banyak gerak. Karena yang diperlukan di sini bukan agitasi, melainkan kontemplasi (tarassukh, peresapan, penghayatan). Ketika dzikir sudah masuk ke dalam rasa, maka akan membuahkan gerakan hati yang lebih stabil dan tertib. Inilah kiranya yang dimaksud oleh Qur’an Surat Ar-Ra’du : 28
Ingatlah, dengan dzikir kepada Allah, hati-hati akan menjadi tenang
Kapan hati menjadi stabil (tenang)? Yaitu ketika hati sudah tersentuh oleh dzikir. Kalau dzikir masih berhenti pada lisan, itu masih lebih baik dari pada tidak berdzikir, namun hal itu masih belum bisa menghasilkan ketenangan. Nah, dari dzikir lisan menuju pada ketenangan itu harus diproses dengan menghayati pengertian makna kalimat لا إله إلا الله tadi. Jadi, tauhid (keimanan) kita bisa ditingkatkan melalui tarassukh (penghayatan atau kontemplasi).
Rasulullah SAW juga pernah bersabda (yang artinya):
Iman itu bisa bertambah dan berkurang
Posisi iman terletak di dalam hati, oleh karena itu, hati harus diberi kondisi yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu dengan cara memperbanyak membaca Al-Qur’an dan shalawat kepada Nabi SAW, makan makanan halal dan menata tingkah laku. Maka, dengan membaca Al-Qur’an, Shalawat dan ibadah, tauhid kita akan terjaga.
Selain itu, dengan membaca Al-Qur’an, Shalawat, berdzikir, dan beribadah, kita juga akan dilindungi dari kekufuran. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Israa’ : 45 (yang artinya):
Dan apabila kamu membaca Al-Quran, niscaya kami adakan antara kamu dan kaum yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup
Orang yang membaca Al-Qur’an itu dilindungi dari pengaruh angin kekufuran. Saya berkali-kali menganjurkan agar kita jangan jauh-jauh dari Al-Qur’an, dengan demikian, Insya Allah, kita akan selamat, karena di sana ada junnah atau benteng yang membentengi kita dari kekufuran.
Di samping melakukan dzikir untuk ketenangan hati, juga harus disertai kewaspadaan terhadap semua gangguan dan fenomena yang merusak tauhid, misalnya: gerakan yang menjauhkan atau membikin manusia tidak lagi percaya pada kekuasaan Allah SWT (contoh: matrealistik); gerakan perlawanan terhadap patokan fundamental dari agama (contoh: mengkritik isi Al-Qur’an dan Rasulullah SAW); gerakan tahayyul dan khurafat; dan gerakan-gerakan perusakan tauhid lainnya.
Terakhir, secara sadar atau tidak sadar, saat ini kita berada di dalam kepungan bencana tauhid, akhlaq dan alam sekaligus. Oleh karena itu, keimanan atau ketauhidan kita harus ditingkatkan melalui dzikir, ibadah, baca Al-Qur’an, baca Shalawat, dan berakhlaq terpuji.
Di dalam agama Islam, kata kunci dari tauhid adalah لا إله إلا الله. Formulasi kata-kata kalimat tauhid ini mengandung pengertian dan mengandung pengamalan. Mengenai masalah pengertian, لا إله إلا الله ini artinya; لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ(Tidak ada yang patut dituhankan, kecuali Allah SWT). Kata مَعْبُوْدَ di sini mempunyai dua segi makna;
- Ma’bud artinya: disembah. Maka dari itu makna lafadz لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ adalah “Tidak ada yang boleh disembah kecuali Allah”
- Ma’bud artinya: menghamba, maka kata لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ bermakna: “Tidak boleh ada yang ditaati kecuali Allah”.
Kenapa lafadz لا إله إلا الله dimulai dengan kalimat negatif (نَفْيٌ)? kenapa tidak langsung menggunakan kalimat itsbat atau affirmatif (إِثْبَاتْ), misalnya; الله إِلهٌ (Allah adalah Tuhan)?. Jadi, lafadz لا إله إلا الله itu meniadakan dulu (nafyu), baru kemudian ada keputusan (itsbat). Alasannya: Karena kalau seseorang dibiarkan memikirkan tuhan tanpa agama, maka tuhan-nya akan jatuh di luar Allah SWT. Misalnya: Menuhankan lautan, api, makhluk halus, angin, dsb. Biasanya yang disembah adalah gejala alam yang dianggap menakutkan atau dianggap menghidupi. Contoh: Api, angin, badai, Dewi Sri, dll. Jadi, kalau seseorang dibiarkan mencari tuhan sendiri, maka mereka akan menuhankan alam. Padahal, selain tuhan bukanlah tuhan, melainkan alam. Jadi hanya ada dua kategori, tuhan dan alam. Selain Allah SWT adalah alam; tidak ada unsur kealaman di dalam Dzat Allah SWT dan tidak ada unsur ketuhanan di dalam alam.
Sekarang ini karena didikan agama yang kurang dan karena kegelisahan orang, maka tauhid ini mulai terganggu, sehingga mulai ada orang yang menuhankan kebutuhan, menuhankan alam, menuhankan alam ghaib, dan semacamnya, padahal sekalipun ghaib, posisinya masih tetap sebagai alam. Adapun faktor-faktor yang membuat tauhid kita terganggu antara lain:
- Pengertian tauhidnya memang tidak beres
- Godaan kebutuhan atau ada interest (mashlahiyyah).
- Kemiskinan atau ketidak-terjangkauan.
Oleh karenanya, tauhid kita harus diperkuat dengan cara memproses pengertian menjadi penghayatan. Jadi, bagaimana pengertian kita terhadap lafadz لا إله إلا الله diproses menjadi rasa terhadap lafadz لا إله إلا الله tersebut. Penghayatan itu berbeda dengan pengertian. Kalau pengertian itu jalurnya adalah rasio, sedangkan penghayatan merupakan kelanjutan rasio itu yang kemudian diterima oleh rasa.
Penghayatan ini dilakukan dalam ilmu tarikat (thariqat atau cara). Adapun tata caranya adalah: Harus melalui dzikir kepada Allah SWT. Jadi, لا إله إلا الله itu jangan digeletakno begitu saja. Setiap kali mengucapkan لا إله إلا الله, haruslah diucapkan dengan hati yang terbuka. Hal ini dimaksudkan agar pengertian itu masuk ke dalam hati dan dalam rasa. Sedangkan yang dimasukkan ke dalam hati itu adalah makna dari formulasi kalimat لا إله إلا الله tersebut.
Mulai sekarang kita harus mulai belajar dzikir. Dzikir itu modalnya adalah pengertian terhadap apa yang diucapkan dan konsentrasi (penggabungan semua potensi yang dimiliki oleh seseorang, baik berupa potensi hati, nafsu, ruh, maupun potensi akal. Semuanya diheningkan dan disatukan untuk memfokus pada satu titik yang diucapkan).
Membaca kalimat لا إله إلا الله dengan tenang akan lebih efektif dari pada banter dan banyak gerak. Karena yang diperlukan di sini bukan agitasi, melainkan kontemplasi (tarassukh, peresapan, penghayatan). Ketika dzikir sudah masuk ke dalam rasa, maka akan membuahkan gerakan hati yang lebih stabil dan tertib. Inilah kiranya yang dimaksud oleh Qur’an Surat Ar-Ra’du : 28
Ingatlah, dengan dzikir kepada Allah, hati-hati akan menjadi tenang
Kapan hati menjadi stabil (tenang)? Yaitu ketika hati sudah tersentuh oleh dzikir. Kalau dzikir masih berhenti pada lisan, itu masih lebih baik dari pada tidak berdzikir, namun hal itu masih belum bisa menghasilkan ketenangan. Nah, dari dzikir lisan menuju pada ketenangan itu harus diproses dengan menghayati pengertian makna kalimat لا إله إلا الله tadi. Jadi, tauhid (keimanan) kita bisa ditingkatkan melalui tarassukh (penghayatan atau kontemplasi).
Rasulullah SAW juga pernah bersabda (yang artinya):
Iman itu bisa bertambah dan berkurang
Posisi iman terletak di dalam hati, oleh karena itu, hati harus diberi kondisi yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu dengan cara memperbanyak membaca Al-Qur’an dan shalawat kepada Nabi SAW, makan makanan halal dan menata tingkah laku. Maka, dengan membaca Al-Qur’an, Shalawat dan ibadah, tauhid kita akan terjaga.
Selain itu, dengan membaca Al-Qur’an, Shalawat, berdzikir, dan beribadah, kita juga akan dilindungi dari kekufuran. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Israa’ : 45 (yang artinya):
Dan apabila kamu membaca Al-Quran, niscaya kami adakan antara kamu dan kaum yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup
Orang yang membaca Al-Qur’an itu dilindungi dari pengaruh angin kekufuran. Saya berkali-kali menganjurkan agar kita jangan jauh-jauh dari Al-Qur’an, dengan demikian, Insya Allah, kita akan selamat, karena di sana ada junnah atau benteng yang membentengi kita dari kekufuran.
Di samping melakukan dzikir untuk ketenangan hati, juga harus disertai kewaspadaan terhadap semua gangguan dan fenomena yang merusak tauhid, misalnya: gerakan yang menjauhkan atau membikin manusia tidak lagi percaya pada kekuasaan Allah SWT (contoh: matrealistik); gerakan perlawanan terhadap patokan fundamental dari agama (contoh: mengkritik isi Al-Qur’an dan Rasulullah SAW); gerakan tahayyul dan khurafat; dan gerakan-gerakan perusakan tauhid lainnya.
Terakhir, secara sadar atau tidak sadar, saat ini kita berada di dalam kepungan bencana tauhid, akhlaq dan alam sekaligus. Oleh karena itu, keimanan atau ketauhidan kita harus ditingkatkan melalui dzikir, ibadah, baca Al-Qur’an, baca Shalawat, dan berakhlaq terpuji.
Ass ww. . .
BalasHapusIzin mengamalkan dan berbagi Ilmu
InshaAllah. . Aamiin