Ikhlas dalam shalat merupakan keharusan, sebab shalat adalah bukti pemurnian sikap seorang hamba atas keberadaan Allah SWT. Shalat dalam makna bahasa berarti do’a, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melaksanakan shalat lima kali sehari semalam. Dan hamba-hamba yang ikhlas, akan melaksanakan perintah tersebut sebagai bukti penyerahan dirinya kepada Allah.
Shalat dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dalam keterangan hadist, Rosullullah bersabda, “Shalat adalah tiang Agama!.“ Artinya tanpa shalat, tiang-tiang Agama Islam ini akan runtuh. Selain itu shalat juga merupakan kewajiban pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dalam peristiwa Isra Mi’raj, hamba Allah yang ikhlas akan bersemangat mengerjakan shalat, karena ia meyakini shalat dapat mencengah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, sesuai firman-Nya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu AL-Kitab (ALQur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ [Q.S. AL-Ankabuut : 45]
Kekejian dan kemungkaran yang terjadi di Bumi ini sesungguhnya bersumber dari perilaku dan perbuatan manusia itu sendiri. Kesombongan dan keserakahan ummat manusia, telah membuat banyak kerusakan terjadi di Bumi. Dan shalat akan membawa penghambaan yang tulus seseorang manusia kepada Tuhannya. Dalam shalat, sifat-sifat sombong, keserakahan, pembangkangan dalam diri manusia akan hilang, dan sifat-sifat positif dalam diri manusia akan tumbuh, lalu pancarannya akan menerangi prilaku hidupnya setiap waktu. Kenapa shalat dapat mencegah dari prilaku keji dan mungkar, karena nilai-nilai pencerahan dalam shalat seorang hamba akan mempengaruhi prilaku positif dalam hidupnya, dan efectnya akan mencegah kekejian dan kemungkaran di Dunia ini.
Dalam sebuah hadist, Rosullullah juga pernah berkata :
“Shalat adalah kenikmatan pandangan mataku (Qurata’ a’yyun), dan dia juga menyebutnya (Shalat) sebagai ’istirahat kita’.” [Hadist]
Saat Rosullullah Isra Mi’raj untuk menerima perintah shalat, ia bertemu dengan Allah SWT. Berjumpa dengan Allah adalah kenikmatan yang tak ada bandingannya, bahkan nikmatnya surga tak ada bandingnya dengan perjumpaan dengan zat Allah.
Allah adalah pencipta yang zatnya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tak satupun lidah dapat digerakan untuk mengungkapkannya, dan tak satupun jawaban dapat mendefinisikannya. Dia adalah petunjuk kepada diri-Nya, dan penguasa bagi uraian diri-Nya.
Seperti firman-Nya dalam sebuah Hadist-Qudsi :
“Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin diketahui, aku jadikan makhluk supaya diketahui dan dikenal.” [Hadst-Qudsi]
Perjumpaan dengan Allah yang penuh kenikmatan dalam Isra Mi’raj, membuat beliau merasa berat hati untuk meninggalkan tempat terhormat yang penuh berkah seperti itu, lalu Allah SWT bersabda pada Muhammad :
“Hai Muhammad, engkau adalah utusan abdi-Ku sebagaimana semua utusan-Ku, bila engkau tinggal disini, engkau tidak dapat menyampaikan pesan-Ku untuk abdi-Ku. Bilamana engkau menginginkan suasana seperti ini maka shalatlah, dan Aku akan membuka suasana ini bagimu.“
Kemudian Nabi diperintahkan untuk kembali ke Dunia, namun dia meninggalkan jiwanya di surga, ruhnya di pohon teratai, dan kalbunya dalam hadirat ilahi yang tak tergumamkan, sementara rahasianya di tinggal mengambang tanpa tempat. Kisah diatas memberi pelajaran bahwa shalat yang benar (sempurna) adalah bila dapat merasakan “Tabir ke-Esaan Allah!“, membawa diri seorang hamba dalam bahtera yang mengambang di tengah-tengah angkasa ilahi. Mencapai pertemuan dengan dzat yang agung, anggun, dan tak terucapkan.
Jadi tak berlebihan bila kita menyimpulkan “shalat adalah mirajnya seorang mu'min.“, karena hanya dalam shalatlah, seorang hamba akan mencapai perjumpaan dengan Allah. Itu sebabnya Rosullullah mengatakan “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku shalat”, bukan “Shalatlah sebagaimana kalian aku ajari shalat.“ Itu artinya kesempurnaan keadaan shalat (khusyu), sepenuhnya wewenang Allah SWT yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Terutama hamba-hamba-Nya yang ikhlas di dalam shalat, dan mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang bisa mencapai keikhlasan dalam beribadah (shalat).
Shalat adalah proses pendekatan seorang hamba kepada Tuhannya, untuk mencapai derajat ketaqwaan. Karena Allah menilai kemuliaan seorang hamba bukan pada kekayaan, jabatan, kekuasaan, wanita atau keturunan yang dia miliki. Tetapi ia menilai kemuliaan seorang hamba dari ilmu dan ketaqwaannya.
Hanya shalat yang sesuai aturan-aturan yang di syaratkan, lalu dilakukan dengan tulus ikhlas untuk mencapai keridhoan Allah sematalah, shalat yang akan diterima disisi Allah. Dan imbalan langsung bagi hamba yang shalat dengan ikhlas, adalah kebersihan hati, disucikan dosanya, dan di limpahkan Rahmat serta karunia-Nya yang tak terhingga.
Syeh Ibn ‘Athaillah dalam AL-Hikam mengatakan :
“Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa, dan pembuka pintu kegaiban.“
Shalat yang sempurna terlepas dari alam kasat mata dan sebuah penegasan kembali hubungan total dengan Allah. Setelah manusia ternodai oleh cinta dan nafsu duniawi. Hati yang berkarat hanya dapat dihilangkan dengan shalat dan dzikir, apabila noda-noda itu telah hilang maka jendela-jendela ilham akan terbuka, dan cahaya-cahaya dari yang maha gaib akan bersinar terpantul-pantul pada cermin hati seorang hamba.
Dalam ungkapan yang lain, beliau juga mengatakan :
“Shalat adalah sarana bermunajat serta sumber penyucian. Luas didalamnya karena rahasia Allah, dan terbit darinya kilau cahaya-Nya. Allah mengetahui adanya kelemahanmu, sehingga Dia menyederhanakan bilangan shalat. Allah pun mengetahui kebutuhanmu pada anugrah-Nya, sehingga Dia melipatgandakan pahalanya.“
Kesempurnaan shalat seorang hamba akan membawanya pada hubungan yang kian dekat dengan Allah, dan itu akan mengantarkannya pada pencerahan, cahaya dan pengetahuan batin dari yang gaib. Meskipun jumlah rakaat dan waktu shalat sedikit, tetapi khasiatnya dapat menyembuhkan dan menghidupkan hati pada Sang Khalik, dan pahala berlipat ganda bagi hamba-hamba-Nya yang shalat dengan ikhlas.
Ada ungkapan lain dari Ibnu Athaillah, yang menarik tentang shalat :
“Karena Allah mengetahui bahwa engkau mudah jemu, maka Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu. Dan karena Allah mengetahui bahwa Engkau pun rakus, maka Dia membatasinya pada waktu-waktu tertentu, agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat, karena tidak semua yang shalat dapat menyempurnakannya.“
Manusia adalah makhluk yang tidak sabar dan mudah bosan. Karena itu, Allah juga membuat banyak sarana dan kesempatan demi pengembangan spiritual, juga upaya mempertinggi kesadaran atas kehadiran-Nya. Shalat hanyalah gerbang menuju halaman kehadiran-Nya (Allah) yang kekal dan hanya hamba Allah yang shalatnya sempurna yang akan mendapatkan-Nya.
Ikhlas dalam shalat sangat subtansial untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan penilaian akhir kesempurnaan shalat seorang hamba, hanya Allah yang berhak menilai sebagai hakim yang memberi keputusan. Kaum muslimin hanya diperintahkan oleh Rosullullah “Shalatlah kalian, sebagai mana kalian melihat aku shalat!“. Paling tidak, shalat hamba yang ikhlas seperti apa yang selalu di jelaskan dalam do’a iftitah yang biasa diucapkan setelah takbiratul ikhram, perhatikan isinya baik-baik :
“Maha besar Allah, segala puji hanya untuk-Nya dan Maha Suci Allah pagi dan petang selama-lamanya. Kuharapkan wajahku, kehadirat-Mu yang telah menciptakan langit dan bumi. Dengan tulus ikhlas menyerahkan diri, dan saya bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, pengabdianku, bahkan hidup dan matiku, seluruhnya hanya bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi Allah, demikianlah aku diperintahkan, dan aku adalah salah satu dari orang-orang yang berserah diri.“
Sumber: Keajaiban Ikhlas - Muhammad Gatot Aryo Al-Huseini
Shalat dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena dalam keterangan hadist, Rosullullah bersabda, “Shalat adalah tiang Agama!.“ Artinya tanpa shalat, tiang-tiang Agama Islam ini akan runtuh. Selain itu shalat juga merupakan kewajiban pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dalam peristiwa Isra Mi’raj, hamba Allah yang ikhlas akan bersemangat mengerjakan shalat, karena ia meyakini shalat dapat mencengah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, sesuai firman-Nya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu AL-Kitab (ALQur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ [Q.S. AL-Ankabuut : 45]
Kekejian dan kemungkaran yang terjadi di Bumi ini sesungguhnya bersumber dari perilaku dan perbuatan manusia itu sendiri. Kesombongan dan keserakahan ummat manusia, telah membuat banyak kerusakan terjadi di Bumi. Dan shalat akan membawa penghambaan yang tulus seseorang manusia kepada Tuhannya. Dalam shalat, sifat-sifat sombong, keserakahan, pembangkangan dalam diri manusia akan hilang, dan sifat-sifat positif dalam diri manusia akan tumbuh, lalu pancarannya akan menerangi prilaku hidupnya setiap waktu. Kenapa shalat dapat mencegah dari prilaku keji dan mungkar, karena nilai-nilai pencerahan dalam shalat seorang hamba akan mempengaruhi prilaku positif dalam hidupnya, dan efectnya akan mencegah kekejian dan kemungkaran di Dunia ini.
Dalam sebuah hadist, Rosullullah juga pernah berkata :
“Shalat adalah kenikmatan pandangan mataku (Qurata’ a’yyun), dan dia juga menyebutnya (Shalat) sebagai ’istirahat kita’.” [Hadist]
Saat Rosullullah Isra Mi’raj untuk menerima perintah shalat, ia bertemu dengan Allah SWT. Berjumpa dengan Allah adalah kenikmatan yang tak ada bandingannya, bahkan nikmatnya surga tak ada bandingnya dengan perjumpaan dengan zat Allah.
Allah adalah pencipta yang zatnya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tak satupun lidah dapat digerakan untuk mengungkapkannya, dan tak satupun jawaban dapat mendefinisikannya. Dia adalah petunjuk kepada diri-Nya, dan penguasa bagi uraian diri-Nya.
Seperti firman-Nya dalam sebuah Hadist-Qudsi :
“Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin diketahui, aku jadikan makhluk supaya diketahui dan dikenal.” [Hadst-Qudsi]
Perjumpaan dengan Allah yang penuh kenikmatan dalam Isra Mi’raj, membuat beliau merasa berat hati untuk meninggalkan tempat terhormat yang penuh berkah seperti itu, lalu Allah SWT bersabda pada Muhammad :
“Hai Muhammad, engkau adalah utusan abdi-Ku sebagaimana semua utusan-Ku, bila engkau tinggal disini, engkau tidak dapat menyampaikan pesan-Ku untuk abdi-Ku. Bilamana engkau menginginkan suasana seperti ini maka shalatlah, dan Aku akan membuka suasana ini bagimu.“
Kemudian Nabi diperintahkan untuk kembali ke Dunia, namun dia meninggalkan jiwanya di surga, ruhnya di pohon teratai, dan kalbunya dalam hadirat ilahi yang tak tergumamkan, sementara rahasianya di tinggal mengambang tanpa tempat. Kisah diatas memberi pelajaran bahwa shalat yang benar (sempurna) adalah bila dapat merasakan “Tabir ke-Esaan Allah!“, membawa diri seorang hamba dalam bahtera yang mengambang di tengah-tengah angkasa ilahi. Mencapai pertemuan dengan dzat yang agung, anggun, dan tak terucapkan.
Jadi tak berlebihan bila kita menyimpulkan “shalat adalah mirajnya seorang mu'min.“, karena hanya dalam shalatlah, seorang hamba akan mencapai perjumpaan dengan Allah. Itu sebabnya Rosullullah mengatakan “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku shalat”, bukan “Shalatlah sebagaimana kalian aku ajari shalat.“ Itu artinya kesempurnaan keadaan shalat (khusyu), sepenuhnya wewenang Allah SWT yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Terutama hamba-hamba-Nya yang ikhlas di dalam shalat, dan mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang bisa mencapai keikhlasan dalam beribadah (shalat).
Shalat adalah proses pendekatan seorang hamba kepada Tuhannya, untuk mencapai derajat ketaqwaan. Karena Allah menilai kemuliaan seorang hamba bukan pada kekayaan, jabatan, kekuasaan, wanita atau keturunan yang dia miliki. Tetapi ia menilai kemuliaan seorang hamba dari ilmu dan ketaqwaannya.
Hanya shalat yang sesuai aturan-aturan yang di syaratkan, lalu dilakukan dengan tulus ikhlas untuk mencapai keridhoan Allah sematalah, shalat yang akan diterima disisi Allah. Dan imbalan langsung bagi hamba yang shalat dengan ikhlas, adalah kebersihan hati, disucikan dosanya, dan di limpahkan Rahmat serta karunia-Nya yang tak terhingga.
Syeh Ibn ‘Athaillah dalam AL-Hikam mengatakan :
“Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa, dan pembuka pintu kegaiban.“
Shalat yang sempurna terlepas dari alam kasat mata dan sebuah penegasan kembali hubungan total dengan Allah. Setelah manusia ternodai oleh cinta dan nafsu duniawi. Hati yang berkarat hanya dapat dihilangkan dengan shalat dan dzikir, apabila noda-noda itu telah hilang maka jendela-jendela ilham akan terbuka, dan cahaya-cahaya dari yang maha gaib akan bersinar terpantul-pantul pada cermin hati seorang hamba.
Dalam ungkapan yang lain, beliau juga mengatakan :
“Shalat adalah sarana bermunajat serta sumber penyucian. Luas didalamnya karena rahasia Allah, dan terbit darinya kilau cahaya-Nya. Allah mengetahui adanya kelemahanmu, sehingga Dia menyederhanakan bilangan shalat. Allah pun mengetahui kebutuhanmu pada anugrah-Nya, sehingga Dia melipatgandakan pahalanya.“
Kesempurnaan shalat seorang hamba akan membawanya pada hubungan yang kian dekat dengan Allah, dan itu akan mengantarkannya pada pencerahan, cahaya dan pengetahuan batin dari yang gaib. Meskipun jumlah rakaat dan waktu shalat sedikit, tetapi khasiatnya dapat menyembuhkan dan menghidupkan hati pada Sang Khalik, dan pahala berlipat ganda bagi hamba-hamba-Nya yang shalat dengan ikhlas.
Ada ungkapan lain dari Ibnu Athaillah, yang menarik tentang shalat :
“Karena Allah mengetahui bahwa engkau mudah jemu, maka Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu. Dan karena Allah mengetahui bahwa Engkau pun rakus, maka Dia membatasinya pada waktu-waktu tertentu, agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat, karena tidak semua yang shalat dapat menyempurnakannya.“
Manusia adalah makhluk yang tidak sabar dan mudah bosan. Karena itu, Allah juga membuat banyak sarana dan kesempatan demi pengembangan spiritual, juga upaya mempertinggi kesadaran atas kehadiran-Nya. Shalat hanyalah gerbang menuju halaman kehadiran-Nya (Allah) yang kekal dan hanya hamba Allah yang shalatnya sempurna yang akan mendapatkan-Nya.
Ikhlas dalam shalat sangat subtansial untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan penilaian akhir kesempurnaan shalat seorang hamba, hanya Allah yang berhak menilai sebagai hakim yang memberi keputusan. Kaum muslimin hanya diperintahkan oleh Rosullullah “Shalatlah kalian, sebagai mana kalian melihat aku shalat!“. Paling tidak, shalat hamba yang ikhlas seperti apa yang selalu di jelaskan dalam do’a iftitah yang biasa diucapkan setelah takbiratul ikhram, perhatikan isinya baik-baik :
“Maha besar Allah, segala puji hanya untuk-Nya dan Maha Suci Allah pagi dan petang selama-lamanya. Kuharapkan wajahku, kehadirat-Mu yang telah menciptakan langit dan bumi. Dengan tulus ikhlas menyerahkan diri, dan saya bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, pengabdianku, bahkan hidup dan matiku, seluruhnya hanya bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi Allah, demikianlah aku diperintahkan, dan aku adalah salah satu dari orang-orang yang berserah diri.“
Sumber: Keajaiban Ikhlas - Muhammad Gatot Aryo Al-Huseini
0 komentar:
Posting Komentar