Pengarang Kitab Al-Ifshah berkata: “Hadits ini mengandung
pengertian bahwa Allah menyampaikan ancaman kepada setiap orang yang memusuhi
wali-Nya. Allah mengumumkan bahwa Dia-lah yang memerangi orang yang menjadi
wali-Nya. Wali Allah yaitu orang yang mengikuti syari’at-Nya, oleh karena itu
hendaklah manusia takut untuk berbuat menyakiti hati wali-wali Allah. Memusuhi
disini berarti menjadikan wali Allah sebagai musuh, yaitu memusuhi seseorang
karena dia menjadi wali Alloh. Adapun jika terjadi perselisihan antara wali
Alloh karena memperebutkan hak, maka hal semacam ini tidak termasuk dalam makna
memusuhi yang dimaksud dalam hadits ini, sebab pernah terjadi perselisihan
antara Abu Bakar dan Umar, Abbas dan Ali dan banyak lagi sahabat yang lain,
padahal mereka semua adalah wali-wali Alloh”
Kalimat, “Hamba-Ku
senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan)
yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan
kepadanya” menyatakan bahwa yang sunnah tidak boleh didahulukan dari yang wajib.
Suatu perbuatan sunnah mestinya dilakukan apabila yang wajib sudah dilakukan,
dan tidak disebut menjalankan yang sunnah sebelum yang wajib dilakukan. Hal ini
ditunjukkan oleh kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri
kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya” yaitu karena ia
bertaqorrub dengan amalan yang sunnah yang mengiringi amalan yang wajib. Bila
seorang hamba selalu, mendekatkan diri dengan amalan yang sunnah, maka hal itu
akan menjadikannya orang yang dicintai Alloh.
Kemudian kalimat, “Jika Aku
telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan
untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai
tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan” Hal ini merupakan tanda kecintaan Alloh terhadap orang yang
dicintai-Nya, maksudnya orang itu tidak akan mau mendengar hal-hal yang dilarang
oleh syari’at, tidak mau melihat hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at,
tidak mau mengulurkan tangannya memegang sesuatu yang tidak dibenarkan oleh
syari’at dan tidak mau melangkahkan kakinya kecuali hanya kepada hal-hal yang
dibenarkan oleh syari’at. Inilah pokok permasalahannya.
Akan tetapi,
seringkali ketika seseorang menyebut nama Alloh hingga disebut sebagai ahli
dzikir, sampai ia tidak mau mendengar perkataan orang yang berbicara dengannya,
kemudian orang yang bukan ahli dzikir berusaha mendekat kepada orang yang ahli
dzikir ini, karena ingin menjadikannya sebagai perantara, agar Alloh
mendengarkan permohonan mereka. Begitu pula dengan mubashirot (orang yang merasa
dirinya bisa melihat Alloh), mutanawilat (orang yang merasa dirinya mampu
menjangkau Alloh) dan mas’aa ilaih (orang yang merasa dirinya telah melangkah
menuju Alloh) Semuanya itu adalah sifat yang mulia. Kita memohon kepada Alloh
semoga kita termasuk kedalam golongan (yang dicintai Alloh) ini.
Kalimat,
“Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya” menunjukkan bahwa seseorang yang
telah menjadi golongan yang dicintai Alloh, maka permohonan kepada Alloh tidak
akan terintangi dan Alloh akan memberikan perlindungan kepadanya dari siapa saja
yang menakutinya. Alloh Maha Kuasa untuk memberikan sesuatu kepadanya sebelum ia
memintanya dan memberi perlindungan sebelum ia memohon. Akan tetapi Alloh
senantiasa mendekat kepada hamba-Nya dengan memberi sesuatu kepada orang-orang
yang meminta dan melindungi orang-orang yang meminta
perlindungan.
Kalimat pada awal hadits, “maka sesungguhnya Aku menyatakan
perang terhadapnya” maksudnya Aku menyatakan kepada orang yang seperti itu bahwa
dia telah memerangi Aku. Wallahu a’lam.
|
0 komentar:
Posting Komentar