Hadits ini pada riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa
Ibnu Abu Mulaikah mengatakan :
“Ibnu ‘Abbas menulis bahwa sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah menetapkan sumpah untuk orang yang
menyangkal dakwaan”.
Pada riwayat lain disebutkan sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
“Sekiranya manusia dikabulkan apa
saja yang menjadi pengakuannya, niscaya orang-orang akan mudah menuntut darah
orang lain, harta orang lain. Akan tetapi, sumpah itu untuk orang yang
menyangkal dakwaan”.
Penulis kitab Al Arbain berkata: “Hadits ini
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan sanad bersambung
dari riwayat Ibnu ‘Abbas. Begitu pula riwayat para penyusun Kitab Sunnan dan
lain-lainnya”. Ushaili berkata: “Bila marfu’nya Hadits ini dengan kesaksian
Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka tidaklah ada artinya anggapan bahwa Hadits
ini mauquf”. Penilain semacam itu tidak berarti berlawanan dan tidak juga
menyalahi.
Hadits ini merupakan salah satu pokok hukum Islam dan sumber
pegangan yang terpenting di kala terjadi perselisihan dan permusuhan antara
orang-orang yang bersengketa. Suatu perkara tidak boleh diputuskan semata-mata
berdasarkan pengakuan atau tuntutan dari seseorang.
Sabda beliau “niscaya
orang-orang akan menuntut darah orang lain atau hartanya” dipakai oleh sebagian
orang sebagai dasar untuk membatalkan pendapat Imam Malik, yang mengatakan
perlunya mendengarkan pengaduan korban yang mengatakan bahwa seseorang telah
melukai saya atau saya mempunyai tuntutan darah kepada seseorang. Sebab, jika
orang yang sedang sakit mengadu “Seseorang mempunyai pinjaman kepadaku satu
dinar atau satu dirham” Tidak boleh diperhatikan, maka pengaduan korban “Saya
mempunyai tuntutan darah kepada orang lain” lebih patut untuk tidak
diperhatikan. Dengan demikian, alasan tersebut tidak benar untuk membantah
pendapat Imam Malik dalam masalah ini karena Imam Malik tidak mendasarkan
pelaksaan qishash atau denda hanya pada perkataan penggugat atau sumpah korban,
tetapi menjadikan pengakuan korban “Saya mempunyai tuntutan darah kepada
seseorang” sebagai keterangan tambahan yang menguatkan bukti penggugat, sampai
orang yang digugat berani bersumpah ketika ia mengingkarinya, sebagaimana yang
berlaku pada berbagai macam keterangan tambahan.
Sabda beliau: “Akan
tetapi, sumpah itu untuk orang yang menyangkal (dakwaan)” menjadi kesepakatan
para ulama untuk menyumpah penyangkalan orang yang didakwa dalam urusan harta.
Akan tetapi, dalam urusan lain mereka masih berbeda pendapat. Sebagian ulama
menyatakan hal ini wajib berlaku kepada setiap orang yang menyangkal dakwaan di
dalam sesuatu hak, dalam thalaq, dalam pernikahan, atau dalam pembebasan budak
berdasarkan pada keumuman Hadits ini. Jika orang yang didakwa tidak mau
bersumpah, maka tuduhannya dipenuhi.
Abu Hanifah berkata: “Sumpah itu
diberlakukan dalam kasus thalaq, nikah, dan pembebasan budak. Jika tidak mau
bersumpah, maka tuduhannya dipenuhi”. Dan dia berkata: “Dalam kasus pidana
tidak boleh digunakan sumpah (sebagai alat bukti)”.
|
0 komentar:
Posting Komentar