Negeri itu menjadi saksi abadi. Di sana dahulu mereka tiada henti-hentinya menfitnahnya. Juga menyakiti dan melemparinya dengan kotoran binatang, kayu, batu, bahkan potongan besi.
Mereka juga pernah memboikotnya hingga kelaparan, mengejar, bahkan berusaha membunuhnya berkali-kali. Sampai akhirnya ia harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Mereka juga selalu mengobarkan peperangan yang membuatnya kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Namun saat dia kembali ke negeri itu sebagai pemimpin besar. Pemimpin semua kaum muslim. Kedatangannya dikawal pasukan berjumlah sepuluh ribu orang yang sangat setia dan siap melaksanakan apa pun perintahnya.
Sementara mereka yang dulu berbuat semena-mena luar biasa ketakutan. Sebagiannya bahkan melarikan diri dengan sembunyi-sembunyi.
Haruskah membalas?
Apa kiranya tindakan yang pantas diberikan Muhammad s.a.w., sang pemimpin itu, kepada penduduk negeri yang dulu sangat zalim kepadanya dan kini tak punya kekuatan apa-apa?
Apakah ia akan membalas kejahatan mereka sebagaimana dulu ketika ia lemah dan ditindas oleh mereka?
Sa’ad bin Ubadah, salah seorang komandan pasukan muslim yang memegang bendera pasukan dan merasakan betul betapa besar permusuhan bangsa arab ketika itu, berteriak dengan lantang, “Hari ini adalah hari pertempuran! Hari dihalalkan semua yang terlarang! Hari ini Allah telah membuat kalian terhina!”
Namun, Muhammad s.a.w. berkata sebaliknya, “Hari ini adalah hari Ka’bah harus dihormati! Hari ini kalian akan dimuliakan oleh Allah!”
Beliau bahkan memerintahkan agar bendera pasukan dialihkan dari Saat kepada anak lelakinya karena khawatir kalau-kalau Saad bertindak kasar kepada penduduk negerti itu.
Sesaat kemudian beliau berkhutbah di hadapan para tawanan yang dulu menzalimi beliau. “Menurut pendapat kalian, tindakan apakah yang hendak aku ambil terhadap kalian?”
Mereka pun serentak menyahut, “Tentu yang baik-baik wahai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia!”
Beliau pun berkata, “Aku katakan kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya. Tak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua! Kalian semua bebas!”
Duhai, betapa besar jiwanya. Mereka yang dulu memusuhinya mengakui kebesaran jiwa sang pemimpin itu. Hati mereka pun terbuka dan justru berbondong-bondong menjadi pengikut setianya.
Mungkin kita bisa merasakan bagaimana keharuan menyelimuti bangsa Arab ketika itu. Orang yang dahulu mereka sakiti, bahkan juga keluarga dan para Sahabatnya, justru mau memaafkan mereka.
Lebih mengharukan lagi, akibat tindakan yang spektakuler tersebut, hubungan yang dulu terputus kini tersambung kembali. Hati yang terluka tersembuhkan lagi. Yang semula lawan berubah menjadi teman. Yang sebelumnya jahat berubah menjadi sahabat. Inilah dahsyatnya memaafkan.
Sehat Jiwa
Meski memaafkan bisa melahirkan kemuliaan, kita sendiri sering merasa berat melakukannya. Yang muncul justru sikap reaktif.
Ketika ada orang yang menyakiti kita, dengan alasan keadilan, kita pun refleks membalasnya. Bahkan tidak jarang malah berlebihan.
Kalau pun tidak mampu membalas, masih ada rasa sakit tersimpan di hati. Ada rasa dendam.
Memaafkan memang terasa berat, tapi tidak memaafkan juga memberikan efek merugikan yang tidak ringan. Orang yang membawa dendam sama saja dengan membawa beban berat sepanjang waktu. Hati ini akan sakit kala teringat seseorang yang menyakiti kita. Apalagi kalau bertemu langsung.
Rasa sakit di hati itu sesungguhnya malah semakin membelenggu jiwa kita sendiri. Potensi kita tak bisa optimal karena adanya beban itu. Berpikir pun tidak jernih lagi. Selalu berprasangka negatif.
Itulah musibah besar yang bisa mematikan pertumbuhan iman kita. Lebih-lebih bisa menutup hidup kita dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah adanya iman adalah mencintai saudaranya? Amal-amal kebaikan kita pun bisa hangus terbakar karena ada hasud pada orang yang belum kita maafkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hasud dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu.” [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Sebaliknya, dengan memaafkan, ada peluang bagi kita untuk menjadi lebih baik. Dengan memaafkan, orang yang semula memusuhi bisa menjadi teman dekat. Bahkan, menjadi pembela setia, karena mereka melihat kebesaran jiwa yang mau memaafkan.
Begitu kita mampu memaafkan, beban yang menggelayut dalam jiwa pun terlepas. Kita merasa terbebas dari belenggu. Jiwa kita pun semakin tenteram.
Mengundang Rahmat
Memaafkan termasuk perbuatan baik yang sangat utama nilainya. Memaafkan dapat mendekatkan kita pada rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat kebaikan.” [Q.S. Al A’raaf: 56]
Memaafkan kesalahan orang lain bukan berarti kita membiarkan kesalahan mereka. Bukan pula kita lantas menganggap kesalahan itu sebagai kebenaran.
Kita memaafkan orangnya, tapi kita harus tetap menganggap kesalahannya sebagai sebuah kesalahan. Apalagi jika hal itu masalah prinsip.
Dengan memaafkan orangnya, kita menjadi jernih melihat masalah yang kita hadapi. Yang kita lakukan sekadar mengingatkan kesalahan mereka demi kabaikan mereka sendiri, bukan untuk melampiaskan kejengkelan kita. Dengan begitu kita bisa menjadi orang baik yang memperbaiki, shalih dan mushlih.
Membiarkan diri kita sakit hati sama sekali tak bisa menyelesaikan masalah. Lebih parah, membalasnya malah bisa kian memperburuk masalah.
Orang yang tidak mau memaafkan dan terus mempersoalkan, tidak akan mampu mengambil manfaat dan hikmah untuk kebaikan hidupnya. Rasa sakit hati juga menunjukkan kita kurang sabar dan ridha dengan ketentuan Allah Ta’ala.
Dengan tidak mau memaafkan, kita kehilangan kesempatan meraih derajat kemuliaan. Jika kita mampu mengatasi ego dan tidak terburu menyikapi suatu masalah, kita akan mampu memaafkan dan mengambil hikmah.
Karena itu, saat hati marah, berzikirlah dengan memperbanyak istighfar. Saat zikir, hati akan lebih tenang dan jernih. Dengan zikir, rahmat Allah Ta’ala pun turun dan kita bisa akses untuk melunakkan hati.
Jika kesadaran jernih, kita bisa bersikap arif, tidak reaktif. Inilah yang dicontohkan Rasulullah s.a.w. sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.” [Q.S. Ali Imran: 159]
Hati yang jernih dan lapang akan bisa memahami keadaan orang lain dari sudut pandang orang itu. Mengapa mereka berbuat aniaya seperti itu? Mungkin karena ketidaktahuan mereka atau karena terjepit oleh keadaan.
Dengan kejernihan dan lapangnya hati, kita pun bisa bersyukur tidak mengalami hal demikian. Peristiwa itu bisa menjadi cermin yang lebih membuka hati kita. Kita bersyukur Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui kejadian yang menimpa kita.
Dengan kejernihan hati kita bisa membaca hikmah di balik kejadian yang menimpa kita. Karena tidak ada suatu peristiwa pun yang menimpa kecuali telah dikehendaki Allah Ta’ala.
Kita jangan hanya terjebak menyesali dan sakit hati dengan kesalahan orang lain. Tetapi lihatlah hikmah di balik kejadian semua itu. Memaafkan akan melapangkan jiwa dan melunakkan hati. Nah mari kita petik dahsyatnya memaafkan dengan belajar memaafkan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: Buletin Hanif Edisi V, 20 April 2012
Mereka juga pernah memboikotnya hingga kelaparan, mengejar, bahkan berusaha membunuhnya berkali-kali. Sampai akhirnya ia harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Mereka juga selalu mengobarkan peperangan yang membuatnya kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Namun saat dia kembali ke negeri itu sebagai pemimpin besar. Pemimpin semua kaum muslim. Kedatangannya dikawal pasukan berjumlah sepuluh ribu orang yang sangat setia dan siap melaksanakan apa pun perintahnya.
Sementara mereka yang dulu berbuat semena-mena luar biasa ketakutan. Sebagiannya bahkan melarikan diri dengan sembunyi-sembunyi.
Haruskah membalas?
Apa kiranya tindakan yang pantas diberikan Muhammad s.a.w., sang pemimpin itu, kepada penduduk negeri yang dulu sangat zalim kepadanya dan kini tak punya kekuatan apa-apa?
Apakah ia akan membalas kejahatan mereka sebagaimana dulu ketika ia lemah dan ditindas oleh mereka?
Sa’ad bin Ubadah, salah seorang komandan pasukan muslim yang memegang bendera pasukan dan merasakan betul betapa besar permusuhan bangsa arab ketika itu, berteriak dengan lantang, “Hari ini adalah hari pertempuran! Hari dihalalkan semua yang terlarang! Hari ini Allah telah membuat kalian terhina!”
Namun, Muhammad s.a.w. berkata sebaliknya, “Hari ini adalah hari Ka’bah harus dihormati! Hari ini kalian akan dimuliakan oleh Allah!”
Beliau bahkan memerintahkan agar bendera pasukan dialihkan dari Saat kepada anak lelakinya karena khawatir kalau-kalau Saad bertindak kasar kepada penduduk negerti itu.
Sesaat kemudian beliau berkhutbah di hadapan para tawanan yang dulu menzalimi beliau. “Menurut pendapat kalian, tindakan apakah yang hendak aku ambil terhadap kalian?”
Mereka pun serentak menyahut, “Tentu yang baik-baik wahai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia!”
Beliau pun berkata, “Aku katakan kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya. Tak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua! Kalian semua bebas!”
Duhai, betapa besar jiwanya. Mereka yang dulu memusuhinya mengakui kebesaran jiwa sang pemimpin itu. Hati mereka pun terbuka dan justru berbondong-bondong menjadi pengikut setianya.
Mungkin kita bisa merasakan bagaimana keharuan menyelimuti bangsa Arab ketika itu. Orang yang dahulu mereka sakiti, bahkan juga keluarga dan para Sahabatnya, justru mau memaafkan mereka.
Lebih mengharukan lagi, akibat tindakan yang spektakuler tersebut, hubungan yang dulu terputus kini tersambung kembali. Hati yang terluka tersembuhkan lagi. Yang semula lawan berubah menjadi teman. Yang sebelumnya jahat berubah menjadi sahabat. Inilah dahsyatnya memaafkan.
Sehat Jiwa
Meski memaafkan bisa melahirkan kemuliaan, kita sendiri sering merasa berat melakukannya. Yang muncul justru sikap reaktif.
Ketika ada orang yang menyakiti kita, dengan alasan keadilan, kita pun refleks membalasnya. Bahkan tidak jarang malah berlebihan.
Kalau pun tidak mampu membalas, masih ada rasa sakit tersimpan di hati. Ada rasa dendam.
Memaafkan memang terasa berat, tapi tidak memaafkan juga memberikan efek merugikan yang tidak ringan. Orang yang membawa dendam sama saja dengan membawa beban berat sepanjang waktu. Hati ini akan sakit kala teringat seseorang yang menyakiti kita. Apalagi kalau bertemu langsung.
Rasa sakit di hati itu sesungguhnya malah semakin membelenggu jiwa kita sendiri. Potensi kita tak bisa optimal karena adanya beban itu. Berpikir pun tidak jernih lagi. Selalu berprasangka negatif.
Itulah musibah besar yang bisa mematikan pertumbuhan iman kita. Lebih-lebih bisa menutup hidup kita dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah adanya iman adalah mencintai saudaranya? Amal-amal kebaikan kita pun bisa hangus terbakar karena ada hasud pada orang yang belum kita maafkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hasud dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu.” [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Sebaliknya, dengan memaafkan, ada peluang bagi kita untuk menjadi lebih baik. Dengan memaafkan, orang yang semula memusuhi bisa menjadi teman dekat. Bahkan, menjadi pembela setia, karena mereka melihat kebesaran jiwa yang mau memaafkan.
Begitu kita mampu memaafkan, beban yang menggelayut dalam jiwa pun terlepas. Kita merasa terbebas dari belenggu. Jiwa kita pun semakin tenteram.
Mengundang Rahmat
Memaafkan termasuk perbuatan baik yang sangat utama nilainya. Memaafkan dapat mendekatkan kita pada rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat kebaikan.” [Q.S. Al A’raaf: 56]
Memaafkan kesalahan orang lain bukan berarti kita membiarkan kesalahan mereka. Bukan pula kita lantas menganggap kesalahan itu sebagai kebenaran.
Kita memaafkan orangnya, tapi kita harus tetap menganggap kesalahannya sebagai sebuah kesalahan. Apalagi jika hal itu masalah prinsip.
Dengan memaafkan orangnya, kita menjadi jernih melihat masalah yang kita hadapi. Yang kita lakukan sekadar mengingatkan kesalahan mereka demi kabaikan mereka sendiri, bukan untuk melampiaskan kejengkelan kita. Dengan begitu kita bisa menjadi orang baik yang memperbaiki, shalih dan mushlih.
Membiarkan diri kita sakit hati sama sekali tak bisa menyelesaikan masalah. Lebih parah, membalasnya malah bisa kian memperburuk masalah.
Orang yang tidak mau memaafkan dan terus mempersoalkan, tidak akan mampu mengambil manfaat dan hikmah untuk kebaikan hidupnya. Rasa sakit hati juga menunjukkan kita kurang sabar dan ridha dengan ketentuan Allah Ta’ala.
Dengan tidak mau memaafkan, kita kehilangan kesempatan meraih derajat kemuliaan. Jika kita mampu mengatasi ego dan tidak terburu menyikapi suatu masalah, kita akan mampu memaafkan dan mengambil hikmah.
Karena itu, saat hati marah, berzikirlah dengan memperbanyak istighfar. Saat zikir, hati akan lebih tenang dan jernih. Dengan zikir, rahmat Allah Ta’ala pun turun dan kita bisa akses untuk melunakkan hati.
Jika kesadaran jernih, kita bisa bersikap arif, tidak reaktif. Inilah yang dicontohkan Rasulullah s.a.w. sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.” [Q.S. Ali Imran: 159]
Hati yang jernih dan lapang akan bisa memahami keadaan orang lain dari sudut pandang orang itu. Mengapa mereka berbuat aniaya seperti itu? Mungkin karena ketidaktahuan mereka atau karena terjepit oleh keadaan.
Dengan kejernihan dan lapangnya hati, kita pun bisa bersyukur tidak mengalami hal demikian. Peristiwa itu bisa menjadi cermin yang lebih membuka hati kita. Kita bersyukur Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui kejadian yang menimpa kita.
Dengan kejernihan hati kita bisa membaca hikmah di balik kejadian yang menimpa kita. Karena tidak ada suatu peristiwa pun yang menimpa kecuali telah dikehendaki Allah Ta’ala.
Kita jangan hanya terjebak menyesali dan sakit hati dengan kesalahan orang lain. Tetapi lihatlah hikmah di balik kejadian semua itu. Memaafkan akan melapangkan jiwa dan melunakkan hati. Nah mari kita petik dahsyatnya memaafkan dengan belajar memaafkan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: Buletin Hanif Edisi V, 20 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar