“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)
Al-Hakam berasal dari akar kata ha-ka-ma. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukum. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata ha-ka-ma mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.
Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah-lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapan-Nya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia-lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukum-Nya.
Pengertian kedua, melalui Asma-Nya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firman-Nya, “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada-nya).” (An-Najm: 39-40).
Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hamba-Nya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yanag penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)
Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekalipun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?
Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dari-Nya pastilah merupakan keputusan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tapi hamba-Nya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusan-Nya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)
Dialah yang membawa keadilan dan kebenaran. Dia mengadili dan melaksanakan keadilan-Nya. Tak ada keadilan selain dari keadilanNya. Tak ada yang dapat menentang keputusanNya. Dan tak ada yang dapat mencegah atau menunda pelaksanaan hukumNya. Allah yang menyebabkan adanya yang diadili, hakim, keadilan dan putusan. Semua yang terjadi di dalam alam semesta merupakan akibat dari sebuah sebab.
Apakah taqdir itu? Ia adalah sebuah sebab yang tetap, mengenai kualitas dan kuantitas tertentu, yang tak dapat diubah sifat maupun takarannya, dan diarahkan kepada maksud tertentu yang akan menciptakan akibat tak terpikirkan sebelumnya pada waktu tertentu.
Bagaimanakah kita, yang memilki pandangan yang terbatas itu dapat melihat dari awal dan akhir dari mata rantai berbagai peristiwa? Bahkan jika kita cermati sekalipun, kita hanya dapat mengetahui semua ini setelah itu terjadi. Semuanya telah ditentukan sejak zaman azali.
Semuanya tersembunyi di Al-Lauh Al-Mahfudzh, catatan rahasia.
Tuhan melihatnya tiga ratusan kali sehari dan memerintahkan para malaikat untuk melaksanakan apa yang sudah semestinya terjadi. Tetapi Allah dengan rahmatnya, juga telah menuliskan hukum-hukumNya sesuai dengan ketulusan, keiklasan, keimanan, pengetahuan, kebijaksanaan dan akhirnya sesuai dengan takdir-Nya. Sesuai dengan taqdir itu pulalah kita patuh dan diberi pahala.
Kita yang sudah taat menjalankan perintah mengalami hal-hal yang menyakitkan, mungkin kita perlu introspeksi kembali pada apa yang telah kita lakukan, apakah itu sudah sesuai dengan ketetapan Allah, atau mungkin saja kita melakukannya bukan karena Allah melainkan karena sesuatu yang lain.
Sebab hanya Allah lah yang bisa memastikan keikhlasan niat kita. Mungkin yang kita anggap tidak adil sesungguhnya adalah jalan terbaik untuk kita.
Mungkin kita saat ini ada yang terdzalimi dan sudah berusaha bangkit, namun keadilan yang kita cari belum berpihak pada kita sehingga keadaan kita belum berubah, namun yakinlah Al-Hakam akan memberikan keadilannya dalam bentuk yang lain.
Kebenaran Allah akan terungkap meski disembunyikan dalam tujuh lapisan langit, begitu juga kejahatan akan terkuak, meski seluruh dunia menyembunyikannya.
Dalam sifat Allah sebagai hakim Yang Agung, Al-Hakam terdapat kabar baik bagi kita yang taat dan menyembah Allah. Tidak ada ketakutan dalam diri kita untuk berjalan bersama Allah, meski halangan dunia tiada berhenti menghadang.
Kita sebagai hamba mempunyai kewajiban dakwah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan Allah meski itu hanya satu ayat. Itulah yang membuat Rasulullah bersabda, “Hanya jika engkau berbuat niscaya engkau akan menerima apa yang telah ditaqdirkan atas dirimu”
Bagi kita kaum muslim, ada empat sikap berkaitan dengan takdir .
Pertama:
Orang-orang yang beramal dan mencoba menilai apa yang akan terjadi pada diri, mereka di masa yang akan datang dengan menarik pelajaran dari apa yang sebelumnya telah terjadi pada mereka (mereka kelak di akhirat).
Kedua:
Orang-orang yang menunjukkan penyesalan dan taubat atas kesalahan yang telah menjerumuskan mereka maupun orang lain. Mereka menyalahkan diri sendiri dan takut terhadap keputusan yang Allah berikan dan mempercayai bahwa semua kesalahan berawal dari diri sendiri semua kebaikan dan kebenaran dari ALLah.
Ketiga:
Segala sesuatu berada di tangan Allah.
Keempat:
Hati kita sepenuhnya dikuasai oleh Tuhan dan orang-orang seperti ini adalah yang terbaik di Mata Allah.
Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akherat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akherat kelak.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Asma%27ul_husna
http://esq-news.com/2011/berita/09/08/al-hakam-yang-menetapkan-hukum.html
http://izmirbordir.com/indonesia/cms.php?id_cms=32
http://alquranperadaban.wordpress.com/2011/04/01/al-hakam-yang-maha-menetapkan/
0 komentar:
Posting Komentar