“(20.) Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.(21.) Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” [Q.S. AL-Hijr : 20-21]
Qodha dan Qodar adalah dua hal yang saling bertautan dalam takdir kehidupan hamba Allah. Qadha secara bahasa berarti ketetapan Allah sejak zaman azali, dengan iradah-Nya tentang segala sesusatu yang berkenaan dengan makhluknya.
Sesuai Sabda Rosullullah:
“Sesungguhnya seorang manusia itu di ciptakan dalam perut Ibunya selama 40 hari dalam bentuk nutfah (mani), 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menajadi segumpal daging. Kamudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kedalamnya. Dan menuliskan empat ketantuan, yaitu rezekinya, ajalnya amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.“ [H.R. Bukhari-Muslim]
Sedangkan Qadar menurut bahasa berarti, kepastian, peraturan, dan ukuran. Menurut istilah aqidah Qadar adalah perwujudan ketetapan (qadha) Allah terhadap semua makhlusk dalam kadar dan bentuk tertentu sesuai iradah-Nya.
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Q.S. AL-Furqan : 2]
Qadar adalah perwujudan dari Qadha, sebab qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah pelaksanaan dari ketetapan Allah, jadi hubungan antara Qadha dan Qadar ibarat hubungan antara rencana dan pelaksanaan. Dari rencana tersebut, Qadha dan Qadarnya Allah merupakan iradah (kehendak) Allah, oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan dirinya, hendaklah ia bersyukur karena itu merupakan nikmat yang di berikan Allah kepada dirinya.
Sebaliknya apabila takdir seorang hamba tidak menyenangkan dan selalu di uji, maka hendaklah ia menerimanya dengan kesabaran. Sebab di balik ujian mungkin saja ada hikmah yang baik, hanya mungkin hamba tersebut belum menyadarinya. Sesungguhnya Allah, Maha Mengetahui atas apa yang di kehendaki-Nya.
Artinya, ketika seorang hamba memaksimalkan ikhtiarnya dalam beribadah dan bermuamalah. Tapi ikhtiarnya belum membuahkan hasil yang di harapkan, maka hamba Allah yang ikhlas harus menyerahkan diri secara utuh atas segala ketetapan Allah dan atas hasil akhir dari ikhtiarnya. Di sinilah letak keikhlasan seorang hamba dalam beriman pada qadha dan qodarnya Allah. Jika seorang hamba Allah ingin mencapai takdir yang baik, maka ia harus berikhtiar ke arah kebaikan tersebut, sama halnya apabila seorang hamba ingin memperoleh karunia Allah di muka Bumi.
Sesuai keterangan firman-Nya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [Q.S. AR-RA’D : 11]
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” [Q.S. AL-Jumuah :10]
Nasib sebuah kaum tidak akan Allah rubah, kecuali kaum tersebut merubah diri mereka sendiri. Karena itu, hamba Allah harus berikhtiar sekuat tenaga, agar Allah menetapkannya dalam takdir yang baik. Dan dia memerintahkan untuk banyak-banyak mengingat Allah, agar hamba tersebut mendapat keuntungan.
Karena itu, seorang hamba sebaiknya tidak mengharapkan sesuatu yang berlebihan, melebihi dari apa yang di tetapkan Allah kepada dirinya. Terimalah ketetapan Allah dengan tenang, ridha, dan ikhlas. Sebab bila sesuatu hal telah di tentukan oleh Allah pada seorang hamba. Maka sesuatu itu akan datang padanya, walaupun hamba tersebut tidak suka. Oleh karena itu seorang hamba, tak perlu rakus pada hal-hal yang di miliki orang lain. Sebab apabila sesuatu hal telah di takdirkan kepada orang lain, hamba tersebut tak perlu bersusah payah untuk meraihnya, karena itu bukan untuknya, sekalipun ia suka.
Terkadang, hamba terjebak dalam kesibukan mengejar takdir yang telah di jamin, di bandingkan memperjuangkan takdir yang di perintahkan oleh Allah. Karena keimanan dan amal soleh seorang hamba lah, yang akan menyelamatkannya di Dunia dan Di akhirat. Ibnu-Athaillah mengungkapkan seputar hal ini dalam Al-Hikam:
“Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah di jamin untukmu, dan kelalaianmu melaksanakan apa yang di tuntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata bathinmu.”
Rezeki, ajal, dan jalan hidup manusia adalah sesuatu yang telah di jamin oleh Allah SWT. Sedangkan beriman dan beramal soleh, adalah tuntutan hidup hamba Allah selama ia menjalani kehidupan di Dunia. Kenapa kebanyakan manusia lebih sibuk mengejar sesuatu yang telah di jamin Allah “???”.
Sejalan dengan Firmannya :
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).” [Q.S. Yunus : 49]
Sumber: Keajaiban Ikhlas - Muhammad Gatot Aryo Al-Huseini
Qodha dan Qodar adalah dua hal yang saling bertautan dalam takdir kehidupan hamba Allah. Qadha secara bahasa berarti ketetapan Allah sejak zaman azali, dengan iradah-Nya tentang segala sesusatu yang berkenaan dengan makhluknya.
Sesuai Sabda Rosullullah:
“Sesungguhnya seorang manusia itu di ciptakan dalam perut Ibunya selama 40 hari dalam bentuk nutfah (mani), 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menajadi segumpal daging. Kamudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kedalamnya. Dan menuliskan empat ketantuan, yaitu rezekinya, ajalnya amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.“ [H.R. Bukhari-Muslim]
Sedangkan Qadar menurut bahasa berarti, kepastian, peraturan, dan ukuran. Menurut istilah aqidah Qadar adalah perwujudan ketetapan (qadha) Allah terhadap semua makhlusk dalam kadar dan bentuk tertentu sesuai iradah-Nya.
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Q.S. AL-Furqan : 2]
Qadar adalah perwujudan dari Qadha, sebab qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah pelaksanaan dari ketetapan Allah, jadi hubungan antara Qadha dan Qadar ibarat hubungan antara rencana dan pelaksanaan. Dari rencana tersebut, Qadha dan Qadarnya Allah merupakan iradah (kehendak) Allah, oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan dirinya, hendaklah ia bersyukur karena itu merupakan nikmat yang di berikan Allah kepada dirinya.
Sebaliknya apabila takdir seorang hamba tidak menyenangkan dan selalu di uji, maka hendaklah ia menerimanya dengan kesabaran. Sebab di balik ujian mungkin saja ada hikmah yang baik, hanya mungkin hamba tersebut belum menyadarinya. Sesungguhnya Allah, Maha Mengetahui atas apa yang di kehendaki-Nya.
Artinya, ketika seorang hamba memaksimalkan ikhtiarnya dalam beribadah dan bermuamalah. Tapi ikhtiarnya belum membuahkan hasil yang di harapkan, maka hamba Allah yang ikhlas harus menyerahkan diri secara utuh atas segala ketetapan Allah dan atas hasil akhir dari ikhtiarnya. Di sinilah letak keikhlasan seorang hamba dalam beriman pada qadha dan qodarnya Allah. Jika seorang hamba Allah ingin mencapai takdir yang baik, maka ia harus berikhtiar ke arah kebaikan tersebut, sama halnya apabila seorang hamba ingin memperoleh karunia Allah di muka Bumi.
Sesuai keterangan firman-Nya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [Q.S. AR-RA’D : 11]
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” [Q.S. AL-Jumuah :10]
Nasib sebuah kaum tidak akan Allah rubah, kecuali kaum tersebut merubah diri mereka sendiri. Karena itu, hamba Allah harus berikhtiar sekuat tenaga, agar Allah menetapkannya dalam takdir yang baik. Dan dia memerintahkan untuk banyak-banyak mengingat Allah, agar hamba tersebut mendapat keuntungan.
Karena itu, seorang hamba sebaiknya tidak mengharapkan sesuatu yang berlebihan, melebihi dari apa yang di tetapkan Allah kepada dirinya. Terimalah ketetapan Allah dengan tenang, ridha, dan ikhlas. Sebab bila sesuatu hal telah di tentukan oleh Allah pada seorang hamba. Maka sesuatu itu akan datang padanya, walaupun hamba tersebut tidak suka. Oleh karena itu seorang hamba, tak perlu rakus pada hal-hal yang di miliki orang lain. Sebab apabila sesuatu hal telah di takdirkan kepada orang lain, hamba tersebut tak perlu bersusah payah untuk meraihnya, karena itu bukan untuknya, sekalipun ia suka.
Terkadang, hamba terjebak dalam kesibukan mengejar takdir yang telah di jamin, di bandingkan memperjuangkan takdir yang di perintahkan oleh Allah. Karena keimanan dan amal soleh seorang hamba lah, yang akan menyelamatkannya di Dunia dan Di akhirat. Ibnu-Athaillah mengungkapkan seputar hal ini dalam Al-Hikam:
“Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah di jamin untukmu, dan kelalaianmu melaksanakan apa yang di tuntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata bathinmu.”
Rezeki, ajal, dan jalan hidup manusia adalah sesuatu yang telah di jamin oleh Allah SWT. Sedangkan beriman dan beramal soleh, adalah tuntutan hidup hamba Allah selama ia menjalani kehidupan di Dunia. Kenapa kebanyakan manusia lebih sibuk mengejar sesuatu yang telah di jamin Allah “???”.
Sejalan dengan Firmannya :
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).” [Q.S. Yunus : 49]
Sumber: Keajaiban Ikhlas - Muhammad Gatot Aryo Al-Huseini
0 komentar:
Posting Komentar