Dalam riwayat Muslim diceritakan, ketika meninggalnya putera Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Ummu Sulaim tidak langsung memberi tahu suaminya yang baru pulang dari bepergian. Ketika suaminya datang, ia segera menghidangkan makanan, kemudian diajaknya bergurau, hingga terjadilah hubungan intim.
Kemudian setelah Abu Thalhah merasa puas barulah ia berkata, ”Hai Abu Thalhah bagaimana pendapatmu kalau seseorang meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, tiba-tiba diminta kembali pinjamannya itu, apakah boleh keluarga yang dipinjami menolak?” Abu Thalhah menjawab, ”Tidak boleh.” Berkata Ummu Sulaim, ”Relakan puteramu kepada Allah.” Maka marahlah Abu Thalhah sambil berkata, ”Mengapa kau sembunyikan berita itu hingga saya berlumuran begini baru kau beri tahu?”
Setelah itu Abu Thalhah memberitahukan kepada Rasulullah SAW segala kejadian malam itu. Rasulullah SAW berdoa, ”Semoga Allah memberkahi kamu berdua dalam harimu itu.” Kemudian mengandunglah Ummu Sulaim dari hubungan intim malam itu. Di kemudian hari, anaknya itu menikah dan dikaruniai sembilan orang anak yang semuanya hafal Alquran.
Dijelaskan oleh salah satu pengajar Ma’had Abu Bakar Ash Shidiq, Sukoharjo, Ustad Shoheh Al Hasan Lc, kisah di atas merupakan pelajaran bagi seorang muslim agar senantiasa rida atas segala keputusan Allah SWT. ”Jika manusia rida akan keputusan-Nya, Allah SWT pun rida terhadap manusia itu. Hal ini sebagaimana keridaan Allah SWT kepada para sahabat nabi,” ujarnya seraya mengutip salah satu firman Allah SWT, ”Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar,” (QS Al Maidah: 119).
Keridaan seorang muslim atas segala keputusan Allah SWT, terangnya, merupakan bukti pengakuannya akan sifat Allah Al Malik, raja di atas raja yang bersifat mutlak. Jika dirunut dari akar katanya, malik berasal dari kata malaka, yammiku yang berarti memiliki dan menguasai.
”Dengan demikian Al Malik artinya bahwa Allah SWT itu Maha Menguasai dan Maha Memiliki. Dia yang memulai, Dia pula yang meniadakan, Dia yang menghidupkan, Dia pula yang mematikan, hanya Allah SWT yang berkuasa memberikan siksa dan pahala. Sedangkan lainnya adalah obyek. Allah SWT yang menciptakan manusia, Dia pula yang akan mematikan manusia,” urainya.
Karena Allah SWT yang memiliki segalanya, ujar Shoheh, Dia pula yang berhak mengatur segalanya. Sehingga ketika seorang muslim kehilangan anaknya karena telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, dia tidak boleh memprotes Allah SWT, karena anak adalah milik-Nya. ”Hanya Allah SWT yang berhak memutuskan suatu hal, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi keputusan-Nya,” jelasnya.
Jika Allah SWT adalah pemilik segalanya, lanjutnya, ia yang berhak melarang dan memerintahkan sesuatu, dan pada saatnya nanti Dia akan memberikan kemuliaan kepada orang yang berhak. Hal ini telah ditegaskan dalam firman-Nya, ”Katakanlah, ’Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS Ali Imran: 26).
Dalam ayat lainnya secara tegas Allah SWT berfirman, ”Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan,” (QS Al Hasyr: 23).
Sifat asmaul husna Al Malik, menurut Shoheh, mengandung pelajaran agar seorang manusia tidak sombong atas semua yang ia miliki, karena pada hakikatnya semua adalah milik Allah SWT. ”Demikian halnya ketika manusia diuji dengan kesulitan, manusia harus rida dan tidak gelisah, yakinlah bahwa semua hal ada dalam genggaman-Nya. Jika kita rida, Insya Allah akan diberikan balasan yang lebih baik,” terangnya.
Intinya, tegas Shoheh, manusia harus selalu bersyukur atas semua hal yang ia peroleh dan bersabar ketika menerima ujian. ”Salah satu wujud syukur yakni menggunakan apa yang telah dikaruniakan Allah SWT, untuk berjuang di jalan-Nya. Jika diberikan harta melimpah, gunakan harta itu untuk menolong agama Allah SWT dan membantu kaum duafa,” ungkapnya.
Sumber: http://keyza19.multiply.com/journal/item/19/Telaah_Asmaul_Husna_Al_Malik
0 komentar:
Posting Komentar