Mas Wibowo Brojonegoro, mantan Boss saya di ARCO menulis di milist tentang filosofi orang Jawa "Mikul duwur, mendem jero". Mikul artinya memikul atau memanggul atau mengangkat, misalnya kalau kita melayat orang meninggal maka peti mati akan diangkat oleh beberapa orang untuk dibawa kekuburan atau dimasukkan ke mobil janasah. Kebiasaan orang Jawa sebelum dimakamkan biasanya anggota keluarganya berjalan melalui bawah peti jenazah tadi tiga kali. Pada saat itulah peti mati tadi dipikul oleh beberapa orang, nah kalau orang2 yang memikul tersebut tinggi2, maka keluarga yang lewat bawah peti jenazah tadi gampang melewatinya. Itulah arti riel dari "Mikul Duwur". (Duwur artinya : Tinggi). Nah orang Jawa percaya juga bahwa lebih dalam kita menggali kubur; lebih baik. Itulah arti riel dari " Mendem Jero" atau memakamkan yang dalam.
Seperti sudah diduga, orang Jawa suka "sanepo" atau mengkiaskan, jadi inti yang lebih dalam dari "Mikul Duwur dan mendem Jero" adalah mengartikan kiasannya.
Mas Wibowo selanjutnya menyampaikan, kalau ada keluarga yang sederhana, misalnya seperti ayah beliau almarhum yang hanya lulus STM jaman Belanda dan seorang pemilik bengkel AC/ Kulkas di Jogya, kemudian apabila anak-anaknya menjadi orang-orang yang berhasil atau berpendidikan lebih tinggi, tidak melakukan kejahatan-kejahatan yang memalukan, maka orang Jawa akan bilang " Wah memang putra2nya Pak Sarwanto ( ayah beliau), benar-benar bisa “Mikul Duwur" yang maksudnya adalah berhasil "mengangkat derajat" orang tuanya, meskipun orang tua beliau tersebut telah meninggal dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, menurut Mas Wibowo, kita diharapkan tidak hanya mengangkat tinggi peti mati orang tua kita (arti riel-nya) namun yang lebih penting adalah "mengangkat derajat" orang tua kita meskipun beliau telah wafat (arti "sanepo" nya).
Nah "mendem jero" tak straight forward seperti mikul duwur. Disini diartikan untuk mengubur dalam-dalam atau melupakan kekurangan orang tua kita. Bagaiman ini bisa dilaksanakan? Sudah pasti diharapkan kita menutupi kekurangan orang tua-tua kita (inilah yang sering diperdebatkan, apakah ini baik atau buruk) . Kalau mereka pemabuk, maka kita tak boleh menceritakan kemana-mana, atau kalau orang tua kita masuk penjara maka hal mana kalau bisa disembunyikan. Mas Wibowo menceritakan, Eyang-eyang beliau mengajarkan: Yang penting kamu belajar yang baik, bertabiat yang baik, berkarya yang baik, jangan berbuat buruk, maka kamu akan sekaligus "mikul duwur dan mendem jero".
Kenapa begitu? memang begitulah adanya. Marilah kita ambil contoh : ada seorang anak tukang ojek yang pemabuk, namun anak tersebut berhasil menjadi pemain bola yang terkenal, maka dalam tulisan di koran-koran orang tak perduli apakah orang tuanya tukang ojek atau apa karena mereka terpaku oleh prestasi anaknya, dalam wawancara orang tua tersebut disanjung-sanjung dan hal dia pemabuk dan lain – lain sudah dilupakan orang, nah itulah contoh dari "mendem jero", kejelekan orang-oran tua kita sudah tak ada lagi, sudah dilupakan orang, karena prestasi kita.
Kalau Mas Wibowo mengingatkan kita dengan "Mikul Duwur Mendem Jero" sejatinya masih banyak lagi falsafah jawa lainnya yang layak dijadikan referensi dalam sikap hidup kita. Di kalangan "bawah" ada falsafah "mangan or mangan sing penting kumpul" ini falsafah yang mencerminkan rasa kekeluargaan, kebersaman dalam suka dan duka. Di sisi lain, falsafah ini juga punya sis negatif, menjadikan orang kurang bersemangat untuk meninggalkan lingkungan hidupnya yang bisa jadi sudah tidak dapat mendukung kesejahteraan. Namun karena semangat mangan ora mangan asal kumpul, walhasil, peluang yang lebih bagus di luar sana ditinggalkan demi untuk kebersamaan dengan komunitasnya.
Ada lagi ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram "mulur-mungkret" alias mengembang - mengempis. dalam interaksi antar-individu para pihak perlu mulur-mungkret, jika yang satu sedang mulur (ekspansif, marah, bergelora), maka partenr satunya perlu mengimbangi dengan mungrkret (memberi kesempatan kepada yang sedang mulur), contohnya suami istri yang sedang marah< kalau dua-duanya marah, maka rumah tangga bubar. jadi mesti gantian, saling mengisi. Ki Ageng mencontohkan karet gelang, kalau ujung yang satu ditarik, ujung lainnya suoaya mengikuti, maka suasana menjadi ayem, tetapi kalau kedua ujungnya ditarik, maka hubungan menjadi tegang sampai batas kekuatan karet tersebut hingga putus.
Yang lain, "yen mangan di-entek-ne, nek ora entek mengo ayame mati" (kalau makan mesti dihabiskan, jika tidak habis, ayam akan mati). dulu setiap mendengar "perintah" ini selalau bertanya, apa hubungannya antara makan tidak habis dengan ayam mati. setelah direnungkan, ternyata, makanan yang disajikan merupakan hasil olahan, sudah banyak tangan - tangan yang terlibat (Adam Smith: Invisible hands) untuk membawa nasi, lauk ke meja makan. bayangkan saja, nasi dihasilkan dari beras yang ditanam petani, dimasak pakai kompor gas yang gasnya dihasilkan oleh para pekerja di lapangan pengeboran lepas pantai, ikan ditangkap oleh nelayan di laut, dibawa ke pelabuhan, didagangkan, jalan ke sana - kemari sampai akhirnya "duduk" di meja makan, demikian juga yang lainnnya, artinya untuk sepiring nasi di meja saja, sebetulnya sudah memerlukan campur tangan puluhan bahkan ratusan orang (yang kita tidak bisa melihat keterlibatan mereka). Nah, menghabiskan makanan itu merupakan rasa syukur karena sudah memperoleh sajian berkat keterlibatan orang banyak. lha jika tidak dihabiskan, in sama saja tidak menghormati yang masak, tidak menghargai siapapun (orang tua) yang mencari rejeki untuk ditukar dengan makanan tersebut, dan seterusnya. Artinya makanan yang tidak habis akan menjadi sampah yang "mematikan" rasa penghormatan kepada mereka yang teah berjasa kepada kita.
Ada lagi, "ojo mentheng kelek, ing ngarepe wong tuwo" (jangan berkacak pinggang di depan orang tua). berkacak pinggang bagi budaya jawa sama saja dengan bahasa tubuh (gesture) berkuasa, lha padahal adanya kita karena orang tua, lha kok mau "berkuasa" kepada orang tua, bisa kualat. selain itu, mentheng kelek juga berpotensi menimbulkan negative externalities, yakni menyebarkan bau badan via ketiak yang lembab, ih amit-amit banuya dech,...
Yang juga perlu disimak, "den becik-ana musuhmu" (berbuatlah baik kepada siapapun, termasuk kepada orang yang tidak suka kepadamu), ini nasehat Mas Timbul Mangunhodoyo (kakek saya dari pihak Ibu) agar kami selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja, meski kepada orang yang tidak suka kepada kita. Tujuannya? apa lagi kalau tidak untuk menambah persahabatan.
Dan yang tidak pernah lupa "ojo dumeh" (jangan mentang-mentang). mentang - mentang lagi jadi supervisor, penguasa gayanya sok berkuasa. Orang yang mentang-mentang biasanya tidak langgeng kedudukannya. Akan banyak orang lain yang tidak suka padanya, kalaupun “hormat” hanyalah semu. Seringkali orang yang dumeh membuat sakit hati orang lain karena meremehkan, atau bahkan menghina orang lain. Jadi, meskipun keliatannya banyak yang dekat kepadanya tetapi ketika sudah tidak berkuasa, ketika sudah tidak lagi menjadi supervisor, superintendent, manager, vice president, bahkan president, maka asetnya hanya dirinya sendiri. orang-orang yang dulu manthuk-manthuk sekarang mau nengok saja segan, kalaupun negur sekedar basa-basi.
Selain dari beberapa falsafah atau bagaimana orang jawa berpikir, bertindak dan berinterkasi ada satu lagi kebiasaan orang Jawa yang melihat bobot, bibit dan bebet, ketika mengevaluasi seseorang yang akan menjadi anggota keluarga besarnya. Pertanyaan mengenai 3B ini diajukan oleh Mas Yanto Sentosa (mantan Boss lainnya di ARCO). Menjawab pertanyaan Mas Yanto, Mas Setoadi (yang ahli telekomuikasi) mengutip sebuah tulisan sebagai berikut.
Bobot Bibit Bebed merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal dalam memilih pasangan yang berkualitas. Bobot diartikan dengan berbobot atau bermutu. Dari kemampuan berpikir, cara mengolah emosi dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukan seberapa tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya. Bibit `benih' keturunan. Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Dari lingkungan sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan keturunan yang baik pula. Bebed – bebedan, cara berpakaian atau penampilan. Bebed menunjukan cara sesorang membawa diri, bergaul dan bertingkah laku. Idealnya, ketiga hal tersebut baik adanya.
Menambahi informasi dari Mas Seto, saya berpendapat bahwa Bobot, untuk mengetahui general intellectual capacity. Bukan untuk meneliti apakah gelar akademik-nya sah atau palsu, tetapi lebih pada melihat ada atau tidaknya kemampuan atau kecerdasan emosi, kemampuan membangun relasi, sifat kepemimpinan, spiritual, dan sejenisnya, yang semuanya menjadi syarat cukup bagi suksesnya rumah tangga. Banyak orang sekolahnya tinggi tetapi kalau lagi marah suka nggaplok anak-istrinya. Atau, meski sudah punya jabatan tinggi tetapi masih suka menipu diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Bibit, untuk mencari tahu the quality of genetical heritage. Dulu, banyak yang membedakan apakah calon mantu (cantu) tergolong "trahing kusumo rembesing madu" atau berasal dari "pidhak pidarakan". Kala itu, masyarakat yakin bila cantu berasal dari golongan priyayi, maka dianggap lebih beradab, ngerti tata krama, seni dan budaya kraton yang adiluhung. Sebaliknya jika berasal dari kaum kebanyakan, dianggap tidak punya "social value" yang tinggi karena kurang paham tata cara kelompok sosial yang lebih beradab. Kalau di kalangan masyarakat Hindu-India ada kasta, di banyak masyarakat yang dipimpin raja ada kelas sosial, ningrat (yang pada umumnya feodal), saudagar (kelompok pedagang, borguis), priyayi (kelompok pegawai tata praja, guru, birokrat), dan rakyat biasa. Dalam kontek sekarang, bibit berorientasi lebih pada apakah seseorang memilki penyakit fisik bawaan (generative) yang dapat menganggu kualitas hidup setelah berumah tangga. Jadi, sekarang bergeser pada kesehatan dari pada asal-usul. (Saya ingat seloroh Pak Edi Sularso – sahabat di ARCO, waktu masih sama-sama di Ardjuna Sakti, manusia itu asalnya dari Ibu, usulnya dari Bapak). Saya pernah baca sebuah artikel yang bilang bahwa bayi lahir dengan cacat/kelainan bawaan sebetulnya bisa dideteksi dari ayah-ibunya.
Bebet(d), untuk melihat future potential, berkaitan dengan wealth, asset atau capital yang akan diperlukan dalam membangun rumah tangga. Dalam konstelasi dunia yang semakin materialis, bebed telah menggeser posisi bibit yang di masa lalu menjadi pertimbangan utama dalam menyeleksi calon anggota keluarga. Kurang lebih argumentasinya, biar bibitnya ada masalah, meskipun bobotnya pas-pasan, asal ada bebed, segala kekurangan bisa dicari solusinya. Bebed menjadi kompensasi dari nilai kurang pada bobot dan bibit. Remaja Singapore bilang: "no matter who you are, as long as you have 5C, I will no refuse to marry you" (5C = car, credit card, condo, capital/saham perusahaan/tabungan, dan career/jabatan tinggi di perusahaan).
Bobit, bibit, dan bebed, menurut saya masih perlu ditambah dengan dengan Babad. Babad untuk melihat track record, individual achievement, atau reputasi. Seperti untuk menguji apakah benar masih perjaka, duda, atau masih punya istri sah. Atau, pernah dikurung oleh KPK, atau bersih,sih, sih.
Rupanya, meski sudah dicoba dicarikan benang merah atas falsafah jawa dan ilmu sosiologi modern, masih saja dianggap sebagai “Ilmu....gathuuk..... dasar wong Jowo....katrok...” demikian sentuhan dari sahabat senior Mas Bambang Kanti Laras (BKL) sambil melempar senyum khasnya. Menanggapi lontaran Mas BKL saya membenarkan pendapat beliau sembari menyatakan semua ilmu dunia itu sejatinya merupakan hasi dari Ilmu Gathuk yang berasal dari rasa penasaran dan silanjutkan dengan eksplorasi sehingga menemukan ilmu – ilmu hebat yang sudah kita rasakan manfaatnya sekarang, tak terkecuali Ilmu Kejawen.
Mencoba meyakinkan, mari kita lihat, misalnya instrumentasi apakah itu tidak gothak-gathuk antara input process, output, fedback/fedforward? Bukankah esensi dasar instrumentasi memfasilitasi dan mengendalikan - interaksi (bhs jawa: gothak- gathuk) semua elemen proses? Ilmu politik? Sama saja, mempelajari gothak-gathuk-nya manusia yang pada berusaha meraih kekuasaan.
Nah sebagai penutup, ada falsafah lain diingatkan oleh sahabat say aCak Troiyanti, yang perlu menjadi perhatian kita semua, tidak peduli Jawa, Sunda, Ambon, Inggris. Celtic, atau Han. Cak Tri dalam bahasa Jawa menyatakan “Menawi ngendikanipun piyantun jawi meniko mboten ilok ngendiko awon maring pepodo kedah andap asor lan tansah nyepeng paugeran inggih meniko toto kromo,nuwun.” Atau dalam bahasa Indonesai kurang lebih “dalam berkomunikasi dengan siapapun sebaiknya penuh hormat dan sopan santun, memegang tata krama yang berlaku.”
0 komentar:
Posting Komentar