Sepanjang sejarah, manusia selalu terpana oleh tinggi dan besarnya gunung. Mereka menganggap gunung adalah tempat suci, tempat bersemayam Tuhan. Orang Jepang mensakralkan Gunung Fuji. Dewa-dewi orang Yunani tinggal di Gunung Olympus. Pegunungan Himalaya merupakan tempat dewanya orang India dan Tibet. Gunung Merapi dianggap angker oleh orang Yogyakarta. Gunung Bromo merupakan kahyangan penduduk Tengger. Gunung Agung tempat dewanya orang Bali. Semua mengaiskan gunung pada fungsi mistik supranatural. Hanya Islam yang menempatkan kembali fungsi gunung secara ilmiah.
Dalam Al Quran kita temukan kata gunung sebanyak 49 kali. Di antaranya, 22 ayat menyebutkan fungsi gunung sebagai pasak atau tiang pancang.
Pasak atau paku besar merupakan benda yang menancap ke dalam. Artinya, kepala pasak yang tampak di luar selalu jauh lebih pendek dibanding panjangnya pasak yang terhunjam.
Ketika agama-agama primitif selama ribuan tahun hanya takjub pada ketinggian gunung, Al-Quran mementahkan kekaguman sesat mereka itu. Ternyata bukan tingginya, tetapi kedalaman akar gunung yang menghunjam sampai 15 kali lipat dari tinggi di atas permukaan bumi, itulah yang lebih dahsyat.
Al-Quran menegaskan bahwa fungsi gunung adalah pasak bumi yang memancang ke bawah tanah dengan kokoh. Itu adalah sebuah konsep tentang gunung yang sangat mutakhir dan baru dikenal. Baru 20 tahun yang lalu para ahli geofisika menemukan bukti bahwa kerak bumi berubah terus. Ketika itu baru ditemukan teori lempeng tektonik (plate tectonics) yang menyebabkan asumsi bahwa gunung mempunyai akar yang berperan menghentikan gerakan horisontal lithosfer.
"Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi tidak goncang bersama kamu,..." (QS. An-Nahl (161: 15)
Rasulullah SAW. bersabda, "Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi bergoyang dan menyentak, lalu Allah menenangkannya dengan gunung." Bagaimana mungkin Nabi SAW. yang buta huruf dan hidupnya di abad ke-6 di tengah masyarakat padang pasir, bisa mengetahui tentang gerakan horisontal lithosfer humi yang berfungsi menstabilkan goncangan? Subhanallaah.
Memang, sejak tahun 1620-an, para ilmuwan seperti Francis Bacon dan RPF Placer dari Prancis mengamati kemungkinan bahwa dahulu benua Amerika, Eropa, dan Afrika pernah menyatu. Pada 1858, Antonio Snider mengemukakan konsep Continental Drift, mengambangnya benua-benua. Kemudian menurut ahli geologi Austria, Eduard Suess, semua benua dulunya memang menjadi satu, diberi nama Godwanaland. Sedangkan ilmuwan Jerman, Alfred Wegener menamakannya Pangea.
Namun, teori-teori itu belum mendapatkan pengesahan, sampai tahun 1960-an saat ditemukannya bukti-bukti meyakinkan hahwa benua-benua memang bergerak.
Kecepatan pergerakan itu 1 cm per tahun di Laut Arktik, 6 cm per tahun di khatulistiwa, sampai 9 cm per tahun di jalur pegunungan. Dan itu adalah 1400 tahun setelah Al-Quran memberitahukan tentang konsep gunung kepada manusia! Allaahu Akbar
Teori lempeng tektonik menyebutkan bahwa kulit bumi herupa 12 lempeng lithosfer setebal 5 sampai 100 km mengapung di atas substratum plastis (astenosfer), yang tebalnya sampai 3000 km. Lempengan itu bergerak secara horisontal dan saling bertabrakan dari waktu ke waktu dan terlipat ke atas dan ke bawah, melahirkan gunung-gunung.
Misalnya, tabrakan lempeng India dan lempeng Eurasia menghasilkan formasi rantai pegunungan Himalaya dengan puncak tertingginya Gunung Everest setinggi 8,848 km, terbentuk mulai 45 juta sahun yang lain. Pose akhir terbentuknya glinting ditandai dengan akar yang jauh menancap ke dalam bumi. Hal ini menyebabkan melambatnya pergerakan lempeng lithosfer.
ltulah fungsi gunung. Tanpa gunung, gerakan lithosfer akan lebih cepat dan tabrakan antar lempeng akan lebih drastis dan mungkin membahayakan kehidupan
Sumber: http://gumuxranger.web.id/
0 komentar:
Posting Komentar