Mungkin saja ada yang mengatakan : Bukankah ada hadits yang mengarahkan kita agar berpedoman dengan apa yang terbetik dadalam hati dan jiwa, meskipun disana tidak ada dalil yang menunjukkan suatu hukum diantara hukum hukum syari’at ??
Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan hadits dari An Nawwas bin Sam’an Radhyallahu ‘anhu ia berkata :
“Saya pernah bertanya kepada rasulullah shalalallahu ‘alaihi wassalam tentang kebajikan dan dosa, lalu beliau shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :
“kebajikan itu adalah akhlak yang mulia dan dosa itu adalah apa yang bertengger didadamu sementara kamu tidak senang orang orang mengetahuinya” (HR Muslim no 2553)
Dari Anas bin Malik Radhyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Saya pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Tinggalkanlah apa yang meragu ragukanmu, dan peganglah apa yang tidak meragu ragukan” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad III/53)
Dari wabishah Radhyallahu ‘anhu ia berkata :
“Saya pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab :
“Hai, Wabishah, minta fatwalah kepada hatimu, dan mintalah fatwa kepada dirimu. Kebajikan adalah ap yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang terombang ambing dalam jiwa dan dada meskipun orang orang memberimu fatwa” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/227)
Dalam hadits hadits diatas nampak adanya anjuran untuk mengembalikan sejumlah hukum hukum syaria’t kepada apa yang terbetik didalam jiwa dan terlintas dalam pikiran. Dalam suatu perkara apabila jiwa merasa tenang kepadanya maka sah untuk dijadikan pegangan bertindak, namun apabila hati ragu ragu maka tidak boleh kita bertindak. Hal itu seperti ihtisan, dalam menilai baik atau buruk suatu perkara dengan mengembalikan kepada apa yang dianggap baik oleh hati dan dicondongi oleh jiwa, meskipun disana tidak ada dalil syar’i. Karena kalau disana ada dalil syar’i, ketetapan ini terikat dengan dalil dalil syar’i, tentu tidak akan diisyaratkan kepada apa yang ada dalam jiwa, tidak pula apa yang terbetik dalam hati.
Hal itu menunjukkan bahwa anggapan baik akal dan kecondongan jiwa itu diperhatikan dalam hal pensyariatan hukum hukum.
Kesimpulannya : Hadits hadits tersebut mengandung arti bahwa fatwa fatwa hati dan apa yang menenangkan jiwa itu bisa digunakan dalam menetapkan hukum hukum syari.
Memang tenangnya jiwa dan tentramnya hati dalam suatu perkara yang tidak ditunjukkan oleh dalil itu bisa diterima dan bisa juga tidak diterima, jika tidak diterima berarti menyelisihi apa yang telah ditunjukkan oleh hadits hadits tadi, sedangkan jika diterima, berarti ada sumber hukum lain selain Al Quran dan As sunnah.
Mungkin ada yang mengatakan “ Itu bisa di terima dalam hal pencegahan bukan dalam hal bertindak”
Perkataan tersebut pun belum menuntaskan masalah karena baik melakukan tindakan maupun mencegah suatu tindakan adalah perbuatan yang mesti akan berkaitan dengan hukum syar’i yaitu tentang boleh dan tidaknya. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengaitkan hal itu dengan tenang tidaknya jiwa. Karena jika hal itu bersumber dari dalil, jelas tidak ada masalah.
Jawaban :
Perkataan yang pertama itu benar adanya, hanya saja membutuhkan penelitian dalam realisasinya. Ketahuilah, bahwa setiap masalah membutuhkan 2 penelitian, yaitu penelitain tentang dalil dari masalah hukum dan penelitian tentang sebab hukum tersebut.
Penelitian tentang dalil dari hukum masalah mesti dari Al Quran dan AS Sunnah, atau sumber sumber hukum lainnya yang bersumber dari keduanya seperti ijma’, qiyas atau yang lainnya, tidak boleh memandang kepada tenang atau tidaknya jiwa.
Tenang tidaknya hati hanya digunakan dalam masalah keyakinan suatu terhadap dalil, apakah ia benar benar suatu dalil atau bukan.
Sedangkan tentang sebab ditetapkanya suatu hukum tidak mesti ditetapkan dengan suatu dalil syar’i saja. Adanya sebab tersebut bisa saja ditetapkan dengan dalil syar’i atau dengan tanpa dalil. Sehingga dalam menetapkan sebab tersebut tidak disyaratkan harus melauli ijtihad seorang ahli, bahkan mungkin saja tidak disyaratkan adanya ilmu tertentu,apalagi sampai diperlukan ijtihad khusus seorang ulama.
Begitulah, Apabila demikian halnya, maka barang siapa memiliki daging kambing yang disembelih secara syari, maka halal bagi dia untuk memakannya, karena menurutnya kehalalan kambing tersebut jelas manakala telah memenui syarat halal. Masing masing dari 2 sebab tersebut berpulang kepada apa yang terbersit dalam hatinya dan ketenangan jiwanya, jadi tidaklah bergantung kepada perintah, Bukankah kita tahu bahwa daging tersebut bisa jadi sama, kemudian ada seseorang ynag berkeyakinan halal sementara ada orang lain yang berkeyakinan haram. Kalau begitu berarti salah seorang dari kedua orang tersebut memakan yang halal, sementara yang lainnya wajib untuk menjauhinya karena menurutnya haram ??! Kalaulah apa yang terbetik dalam hati disyaratkan harus ada dalil syar’i yang menunjukkannya, maka contoh ini tidaklah tepat dan mustahil, karena dalil dalil syar’i tidaklah saling bertentang sama sekali.
Sehingga bila kita katakan bahwa daging tesebut menimbulkan masalah bagi pemiliknya dalam menentukan sebab hukumnya, tentu dia tidak akan condong kepada salah satu dari dua hal tadi, sama seperti kasus bangkai dengan hewan yang disembelih (secara syar’i) dan antara istri dengan wanita lain yang bukan istri diatas.
Disinilah letak terjadinya keragu raguan. Kebimbangan kesulitan, dan kesamaran. Dan berkait dengan masalah sebab ini, kita membutuhkan dalil syar’i yang dapat menjelaskan hukumnya. Dan dalil syar’i yang dimaksudkan ialah hadits hadits terdahulu, seperti sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam
“Tinggalkanlah apa yang meragu ragukanmu, dan peganglah apa yang tidak meragu ragukan”
“kebajikan itu adalah akhlak yang mulia dan dosa itu adalah apa yang bertengger didadamu sementara kamu tidak senang orang orang mengetahuinya”
seolah olah beliau shalallahu ‘alaih wassalam mengatakan “ sesuatu yang telah jelas halal atau haramnya silahkan kamu berbuat sesuai ketentuan hukum tersbut, sedangkan sesuatu yang sulit diketahui hukumnya maka tinggalkanlah dan janganlah kamu terperosok didalamnya .
Itulah makna sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
mintalah fatwa kepada dirimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang terombang ambing dalam jiwa dan dada meskipun orang orang memberimu fatwa”
karena sebab permasalahan yang kita hadapai berbeda dengan sebab permasalahan yang dihadapi orang lain dan diri kita lebih mengetahui permasalahan yang kita hadapi. Hal itu akan tampak menakala sebab tersebut membuat kita kesulitan, sementara tidak bagi orang lain, karena dia tidak menghadapi permasalahan sebagaiman kita hadapi.
Maksud sabda Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam
meskipun orang orang memberimu fatwa
bukanlah berarti, jika mereka menyampaikan hukum syar’i kepadamu maka tinggalkanlah, lalu lihatlah apa yang difatwakan kepada hatimu. Karena yang seperti itu jelas bathil, serta mengada adakan syari’at. Dan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak lain adalah berkenaan denagn penetapan sebab dari hukum tersebut.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa hadits hadits diatas tidak mendorong kita untuk menetapkan hukum hukum syari’at dari ketenangan jiwa atau kecondongan hati sebagaimana yang disebutkan oelh orang orang yang menanyakan permasalahan ini.
Segala puji bagi Allahu ta’ala yang karena kenikmatan kenikmatan Nya menjadi sempurna amalan malan shalih
Allahu ‘alam
Disadur dari Ringkasan Al I’tisham : Membedah seluk beluk bid’ah, Imam Asy Syathibi rahimahullah oleh Syeikh Alawi bin Abdul Qadir As Saqqaf, penerbit Media Hidayah Yogyakarta
Dari: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/02/10/meminta-fatwa-pada-hati/
0 komentar:
Posting Komentar